Saturday, October 27, 2007

Lombangku Sayang, Lombangku Malang

Wajah Molek Itu, Kini Meranggas

Menyusuri pantai Lombang, yang tampak ranum dengan dedaunan cemara udang, kini hanya bersisa sekitar radius sekitar 650 meter, setelah itu hamparan pasir yang meranggas dan ratusan pohon cemara udang dalam posisi jumpalitan, akibat penebangan liar.

Jarang wisatawan memperhatikan hal ini, karena posisi rusaknya hutan cemara, berada di luar radius pusat hutan Lombang, namun bagian penting dari Pantai Lombang.
Dipantai ini pula, ditemui sejumlah belahan kayu cemara udang, untuk dijadikan kayu bakar. Menurut Muri, warga Lombang, tumpukan kayu tersebut, merupakan hasil penebangan yang dilakukan warga atas cemara miliknya. Namun ada juga yang dilakukan oleh warga, yang menebang secara liar.

”Di sini bebas Mas, siapa pun bisa melakukan apa saja, buktinya rakyat bisa punya hak milik atas pantai. Padahal aturannya kan tak boleh,” ujar Mori. Akibatnya ribuan pohon cemara udang, dikuasai pribadi dan diperjual belikan secara membabi buta. Itulah yang menyebabkan ribuan pohon cemara udang lenyap dari Pantai Lombang. Kini yang tersisa hanya bekas cangkokan potongan cemara udang, yang kemudian dijadikan kayu bakar oleh warga, sejak harga minyak tanah membumbung tinggi.

Ia lalu bercerita panjang, disaat lenyapnya hutan cemara udang di Lombang, kini jarang ada pesanan dari kota di Pulau Jawa, karena ternyata eksploitasi besar-besaran yang dilakukan warga sepuluh tahun silam, menyebabkan langkanya cemara udang yang memiliki nilai seni yang tinggi. Kini sebaliknya, beberapa kota, seperti Malang, Bandung, dan Jogjakarta, mampu melakukan budidaya cemara udang, berbekal dari bibit yang dibeli dari Lombang. ”Kami akui, kualitas budidaya yang dilakukan di Bandung, Malang, dan Jogjakarta dari generasi pertama cemara udang Lombang, menghasilkan generasi yang lebih bagus. Sehingga pasar cemara udang kini sudah terpusat di kota besar,” paparnya.

Disamping efisien dari sisi ongkos transportasi, membeli cemara udang di kota terdekat, resikonya sangat kecil, sehingga cemara udang, tak lagi dilirik di tempat asal ditemukan.

Pemerintah Kabupaten Tak Berdaya

Plt Kepala Dinas Pariwisata Daerah Sumenep, Drs H Ach Ingkiad, membenarkan tak seluruh lahan di seputar Pantai Lombang adalah milik Pemkab. Banyak di antaranya dikuasai warga setempat. Akibatnya Pemkab tidak bisa mengatur sistem penebangan dan penjualan cemara udang di lokasi tersebut. Namun untuk di wilayah pantai yang dikuasai Pemkab, maka tidak akan pernah ada yang berani merusaknya, sebab sepanjang hari dijaga.

”Kalau kawasan pantai yang dikuasai pemerintah, saya berani jamin aman dari penjarahan,” tegasnya. Namun diakui, dikuasainya bagian-bagian tertentu disekitar Pantai Lombang oleh pribadi, sangat mengganggu kegiatan wisata. Ia berharap agar ada upaya segera untuk membebaskan lahan yang dikuasai pribadi, sehingga penataan pantai wisata Lombang lebih terarah menjadi kawasan wisata yang profesional. ”Kalau mahu profesional, saya kira segera bebaskan lokasi pantai dari kepemilikan pribadi,” katanya.

Namun Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep, Drs H Kusbandi Msi, membantah tanah di bibir Pantai Lombang ada yang memiliki. Sebab tidak dibenarkan kepemilikan tanah di areal 200 meter dari pasang surut air laut. ”Bohong jika ada yang mengaku punya tanah di bibir pantai Lombang, karena kami tidak pernah mengeluarkan sertifikat,” ujarnya. Namun diakui untuk Desa Bilangan dan Nginbungin, ada sejumlah tanah dekat pantai yang dikuasai warga, karena merupakan tanah adat warga setempat, sehingga telah dikeluarkan sertifikatnya.

Untuk kasus kepemilikan tanah di bibir Pantai Lombang, Kusbandi khawatir, hanyalah klaim yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Sebab bisa saja warga mengklaim tanah itu miliknya, hanya berdasarkan fakta bayar pajak atas tanah tersebut. ”Saya rasa Pemkab harus segera mencari tahu atas tanah disekitar pantai Lombang, kalau memang tidak beres, segera di usut,” tegasnya. (Jakfar Faruok Abdillah)

Sumber: Surabaya Post, Jumat 26/10/2007