Kongres Bahasa Terus Menguat
Kongres bahasa (Madura) mendapat sambutan para seniman. Buktinya, kantong-kantong kesenian antusias terkait momentum kongres bahasa pasca kongres kebudayaan awal tahun lalu.
Seperti diberitakan, usai pelaksanaan kongres di Sumenep memutuskan dibuat pojka di Pamekasan. Pokja ini bertugas mendiskusikan kembali urgensi kelanjutan kongres. Sampai akhirnya wacana awal dapat menyepakati kongres bahasa sebagai kongres jilid II pasca Sumenep.
Sastrawan muda Halifaturrahman mengaku seringkali membicarakan kemungkinan kongres. Dia bilang peluang dan tantangan kongres terbagi pada dua aspek. Sebagai peluang, kongres dianggap dapat menjadi tonggak tentang revitalisasi budaya dalam aspek kebahasaan. Penyair ini katakan kongres juga bisa menjadi semangat baru di tengah generasi yang jumud. "Kami sering diskusi-diskusi kecil soal kongres ini," ujarnya.
Sebagai tantangan, mantan pembina seni di depot seni Akura ini menganggap kongres akan mengalami tantangan. Dia yakin tantangan dapat muncul dari adanya perbedaan cara pandang antargenerasi. Tetapi, dia yakin perbedaan lintas generasi ini bisa mengerucut kepada satu kepentingan budaya. Hambatan lain dia menduga akan lahir dari alasan klasik yang terkait dengan pendanaan. "Tetapi saya kira selalu ada jalan keluar dari kebuntuan," terang pria yang akrab disapa Mamang ini.
Seniman lukis Budi Hariyanto imbuhkan, peluang dan tantangan kongres selalu ada. Dia mencontohkan kongres di Sumenep cukup memukau. Terutama ketika Hubb de Jonge hadir dan beberapa pemerhati budaya lainnya. Dia mengaku optimistis kongres dapat digelar oleh setiap kabupaten di Madura. Alasannya, Budi-sapaannya, menilai tiadanya kongres semakin menjelaskan bahwa yang berbau Madura mulau terkikis. "Kongres amat perlu mumpung semangat bermadura belum hilang secara massif," katanya.
Budi merasa iri dengan daerah lain yang telah melestarikan daerahnya masing-masing. Pria lulusan seni rupa IKIP Surabaya ini mencontohkan Banyuwangi, Sunda, Ponorogo, dan berbagai daerah lainnya. Dia katakan aura berbudaya di daerah lain terus menguat hingga mendapat pengakuan dari dunia internasioal. "Lha budaya kita, sepertinya tetap saja," tukasnya.
Dari kalangan generasi tua, Chairil Basyar menilai sebagian generasi muda mulai tidak bergairah untuk bermadura. Indikatornya, Chairil mencontohkan remaja yang tak bisa mewarisi bahasa ibunya. Dia membayangkan 10 atau 20 tahun mendatang dengan tampilan remaja saat ini, rasa bermadura bisa habis. Itu sebabnya, Chairil menganggap rasa bermadura harus digalakkan lewat sekolah atau media apapun. "Termasuk digalakkan melalui kongres," ujarnya. (abe)
Sumber: Jawa Pos, Jumat, 26 Okt 2007
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home