Saturday, January 17, 2009

Polisi Berbahasa Madura Didrop
Cegah Konflik Pilgub

Tidak banyak, hanya 100 personel Polres Jember yang dikirim ke Madura untuk pengamanan Pilgub putaran ketiga. Istimewanya personel polisi Jember itu diseleksi secara khusus agar bisa berkomunikasi dengan masyarakat setempat.

“Kami diminta berpartisipasi membantu. Karena itu kami memilih anggota yang bisa berbahasa Madura yang akan kami berangkatkan Senin (19/1),” kata AKBP Ibnu Istischa, Kapolres Jember, Jumat (16/1).

Dasar memilih personel berkemampuan bahasa Madura, menurut Ibnu, akan sangat bermanfaat untuk mengetahui persoalan yang ada di Bangkalan ataupun Sampang. Mengingat pilgub putaran ketiga itu rawan konflik. “Kami sadar putaran ketiga ini rawan konflik, sehingga anggota tidak salah langkah mengambil tindakan apalagi salah paham gara-gara soal bahasa,” terang Istischa.

Untuk keseluruhan aparat keamanan, Polda Jatim akan menurunkan sebanyak 5.540 personel polisi dari jajaran Polda Jatim . Pengamanan yang diberi nama PAM-Gub kali ini hanya untuk mengamankan jalannya pencoblosan ulang saja, tidak ikut mencatat hasil perhitungan suara. “Konsentrasi polisi hanya mengamankan jalannya pencoblosan, satu TPS akan dijaga oleh 2 anggota polisi,” ujar Kombes Puji Astuti, Kabid Humas Polda Jatim, Kamis (15/1).

Total personel 5.540 orang itu berasal dari Polwil Madura sebanyak 945 pasukan, Polda Jatim sebanyak 778 pasukan, Polwiltabes Surabaya 788 personel, Polwil Malang 1.066 personel, Polwil Kediri 685 personel, Polwil Madiun 450 personel serta 953 personel dari Polwil Bojonegoro. “Pengamanan yang kita lakukan adalah pengamanan terbuka dan tertutup di 2.770 TPS. Pasukan mulai digerakkan Senin 19 Januari,” imbuh Puji. (kp/bjt)

Sumber: Surya, Sabtu, 17 Januari 2009

Labels: , , , , , , ,

Thursday, September 06, 2007

Tidak Mudah Menjadi Provinsi Madura

Dalam PP dijabarkan setidaknya ada 7 syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap daerah jika ingin menerapkan kebijakan pemekaran wilayah yakni, (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah (Dumas, 27/8)

Menanggapi tulisan Mas Mochamad Toha, jurnalis dan pemerhati kebijakan publik, “Siapa Bilang Provinsi Madura Tidak Siap?” Harian Surya, Kamis 30 Agustus 2007 menarik untuk disimak dan ditelaah kembali. Mungkin tulisan ini hanya sebatas pelengkap atau respons terhadap beberapa opsi yang di tawarkan oleh Mas Toha, tentang sebarapa jauh kesiapan Madura menjadi provinsi.

Impian masyarakat Madura menjadi provinsi sebenarnya bukan isu baru. Madura merupakan pulau yang kaya akan gas bumi. Bahkan dunia telah mencatat palau Pangerungan (Sumenep) merupakan daerah penghasil gas alam. Hingga kini telah banyak perusahaan migas dalam negeri  maupun luar negeri  melakukan eksplorasi di pulau itu. Bahkan beberapa blok telah selesai dilakukan drilling (pengeboran).

Dari pulau yang seluas 50 hektare ini setiap harinya menghasilkan + 11,75 juta barel minyak, serta 947 juta kaki kubik gas. Selain migas, Madura juga memiliki phosphat, pasir kuarsa, dolomit, kapur, garam, dan lain-lain (Surya, 26/8).

Berangkat dari latar belakang itulah (Baca: Mochamad Toha) selayaknya Madura “siap” menjadi sebuah provinsi baru di Indonesia, memisahkan diri dari provinsi induk Jawa Timur. Seperti provinsi Banten (Jawa-Barat), Gorontalo (Sulawesi-Utara), Bangka Belitung (Sumatera-Selatan), Kepulaun Riau (Riau), Maluku Utara (Maluku) dll.

Ada beberapa alasan yang membuat Mas Toha, optimistis Madura menjadi provinsi. Pertama, tidak harus menunggu kesiapan SDM dan infrastruktur. Ini bisa dilaksanakan secara simultan dengan pembentukan provinsi. Mas Toha bercermin ke Gorontalo dengan Fadel Muhammad sebagai Gubernurnya. Harus diakui Madura tidak bisa disamakan dengan Gorontalo. Secara Sumber Daya Alam (SDA) mungkin bisa. Tapi siapa yang akan menjadi pucuk pemimpin (gubernur), ini menjadi tanda tanya besar untuk bisa menjadi Fadel Muhammad ke-2 di Madura.

Kedua, alasan Mas Toha, Madura tidak akan pernah maju kalau tidak menjadi provinsi. Selama ini hanya menunggu anggaran 20 persen dari Jawa Timur. Inipun masih akan dibagi dengan daerah lainnya. Sepantasnya Madura mendapat 80 persen sehingga menjadi pulau terkaya di dunia dengan migasnya. Maka satu-satu jalan untuk mensejahterahkan masyarakat Madura ialah membentuk provinsi sendiri.

Ketiga, angka 70 persen bagi Mas Toha, bahwa masyarakat Madura hanya lulus setingkat SD bahkan droup out. Dikutip dari pernyataan Mahfud MD, yang diambil dari data hasil penelitian Aziz Djakfar, Dosen Unversitas Tronojoyo. Mas Toha tidak terima kalau SDM di Madura dikatakan lemah, juga tidak tepat dijadikan alasan ketidaksiapan menjadi provinsi Madura. Ini berarti mengesamping potensi pendidikan informal (pesantren) di Madura  yang banyak mengeluarkan alumni mampu menempuh pendidikan di Mesir, Yaman, Mekkah, dan Madinah.

Menjadi catatan untuk Mas Toha, bahwa untuk membangun Madura betul-betul membutuhkan orang-orang yang “alim” dibidangnya. Tidak hanya “faham” dalam hal keagamaan saja. Hemat penulis, benarkah alumni pesantren-pesantren itu di negeri sana belajar ilmu sains dan teknologi? Rata-rata mereka masih sebatas belajar ilmu sebatas pemahaman teks-teks keagamaan (baca : Historiografi Indonesia 2007). Padahal Madura membutuhkan orang yang cukup andal di bidang pembangunan industri dll.

Batu Sandungan

Kalau melihat sejarah dan pengalaman orang Madura yang berhasil membentuk kabupaten kota di tempat lain. Sepertinya tidak perlu ragu masyarakat Madura untuk menuju Madura mandiri.

Tetapi dalam rangka meng(iya)kan Madura menjadi provinsi harus melewati suatu proses. Petama, yakni pendapatan rata-rata perkabupaten masih rendah, sementara Mas Toha hanya mendiskripsikan kekayaan alam dari Kabupaten Sumenep saja. Kedua, untuk menjadi provinsi harus ada 5 (lima) Kabupaten/Kota. Sementara Madura hanya memiliki empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pemekasan, dan Sumenep.

Untuk melakukan pemekaran wilayah, suatu daerah (sekumpulan kabupaten) harus merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) dari UU No 22/1999 pemerintah daerah tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.

Dalam PP dijabarkan setidaknya ada 7 syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap daerah jika ingin menerapkan kebijakan pemekaran wilayah yakni, (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah (Dumas, 27/8).

Semua persyaratan di atas dalam PP tersebut isinya bersifat akumulatif, dengan pengertian untuk bisa direalisasikan semua syaratnya harus dipenuhi. Kalau dari semua syarat di atas hanya terpenuhi sebagian, dikhawatirkan justru akan menjadikan wilayah (provinsi Madura) ini kolaps.

Perda Syari'ah

Apa yang ada dibenak seseorang ketika mendengar nama Madura. Sering terlintas dibenak seseorang bahwa Madura itu gersang, tandus, kering, garam, ndeso, terbelakang, buta informasi, orangnya keras-keras, tak berbudi pekerti, ada satu lagi istilah yang kedengarannya membuat orang merinding. Apa itu? Carok.

Pada kenyataannya tidak seperti apa yang diutarakan diatas. Madura itu ternyata indah, cantik, suci dan tidak terkontaminasi oleh maksiat. Jika pembangunan jembatan Suramadu selesai, tidak mustahil nantinya daerah ini menjadi rebutan dan incaran para investor (Surya, 26/8/07).

Membangun Madura tidaklah segampang membalik telapak tangan. Penduduk Madura terdiri dari pelbagai macam khas dan beragam, mulai karakter bahasa daerah, kesenian, budaya, serta tradisi (adat) yang ada.

Rencana membangunan Madura sudah 30 tahun yang silam diperjuangkan oleh mantan Gubernur Jawa Timur, HM Noer. Pelbagai acara deklarasi, seminar, pelatihan, dan pendampingan telah dilaksanakan, tetapi tidak mendapat respons dari masyarakat Madura.

Beberapa bulan yang silam sempat ada sinyelemen wacana mewujudkan provinsi Madura Serambi Madinah. Deklarasi ini telah ditanda tangani oleh MUI se-Madura, perwakilan kiai se-Madura, Ormas, DPRD se-Madura, Bupati Bangkalan, Sampang, Pamekasan. Tapi sia-sia karena Bupati Sumenep, KH Moh Ramdlan Siroj, tidak mau menandatangani berita acara tersebut.

Kita tidak boleh menutup mata, untuk tidak tergesa-gesa mendirikan provinsi Madura. Persoalannya kalau Madura menjadi provinsi, bagaimana dengan istilah Madura Serambi Madinah tadi. Akhirnya, akan berlanjut bukan hanya memperdayaan masyarakat Madura. Walhasil berunut pada penerapan Peraturan Daerah (Perda) Syari'at Islam di Madura tidak mustahil nantinya Madura nasibnya sama seperti Aceh. Bahkan bisa berujung kepada 'Madura Merdeka'.

Pandangan penulis, Musyawarah Besar (Mubes) ke-3 Masyarakat Madura se-Indonesia yang berlangsung di Hotel JW Mariot Surabaya (26/8). Bertema 'Membangun Masyarakat Madura dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)', bukan satu-satu alasan untuk Madura jadi provinsi. Lebih tepatnya adalah sebagai sarana silaturrahim dan Gerakan Kembali Ke Madura (GKM) ini perlu sebagai upaya percepatan pembangunan 'Pulau Madura' dan antisipasi menyongsong dibangunnya jembatan Suramadu sebagai pintu gerbang dan industrialisasi di palau garam ini.

Kalau pelbagai pihak masih bersikeras mempertahankan (kepentingan) Madura tetap jadi provinsi.

 Ada dua (harapan tentunya) pertanyaan yang sekiranya perlu dijawab untuk masyarakat Madura. Pertama, apa dengan Madura menjadi provinsi merupakan sesuatu hal yang dianggap “final” untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat Madura?. Kedua, apakah semua isu dan statement itu merupakan persepsi sepihak (pribadi/kelompok) atau mewakili masyarakat Madura secara umum? Sementara, faktanya sampai saat ini masyarakat Madura masih belum siap menjadi sebuah provinsi. Ini terbukti Kabupaten Sumenep masih dengan isu perubahan nama Kabupaten Kepulauan Sumenep, menandakan bahwa daerah kepalauan tidak siap lepas dari daratan menjadi kabupaten sendiri.

Ach Syaiful A'la, Oreng Madura Sumenep. Aktif di Lembaga Kajian & Survey Nusantara (LAKSNU)

Sumber: Surya, Monday, 03 September 2007

Labels: , , ,

Tuesday, March 27, 2007

Membangun Sukma Madura

Catatan dari Kongres Kebudayaan Madura

Upaya orang-orang Madura menghapus stereotipe negatif yang sudah terlanjur melekat di benak banyak orang, seperti berjuang dalam sepi karena rendahnya dukungan masyarakat pendukungnya.

Suatu senja jelang pertengahan Maret 2007 di kota Sumenep, Madura. Tanah lapang berlapis rumput nan hijau yang cukup terrawat di halaman Hotel Utami basah kuyup. Genangan air hujan masih membekas. Sepasang penari berparas cantik berarak menuju panggung dengan kaki berjinjit. Tungkal mulus para penari kecipratan lumpur. Namun, mereka harus melupakannya karena hentakan musik sronen dari grup Kabut Hitam asal Pamekasan langsung mengajak mereka membawakan Ul Daul.

Oleh ALEX MARTEN

Tarian tersebut sekaligus menjadi pembuka Kongres Kebudayaan Madura (KKM) pertama yang berlangsung di kota Sumenep, 09-11 Maret 2007 lalu.

Kebudayaan Madura, sebagaimana kebudayaan masyarakat lainnya di Indonesia, unik. Kongres ini menampilkan beragam kekayaan kultural masyarakat Madura dari empat kabupaten, yaitu Sampang, Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Mien A. Rifai mencatat beragam kekhasan kultural mau pun karakteristik manusia Madura. Etnis Madura, kata ilmuwan LIPI ini, termasuk suku bangsa yang tahan banting.

Mereka mampu beradaptasi dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan. Orang-orang Madura dikenal ulet. Riset majalah Tempo pada tahun 1980-an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar suku yang paling sukses di Indonesia.

Orang-orang Madura di tanah rantau adalah saksi hidup dari semangat itu. Mereka berani melakukan pekerjaan apa saja demi hidup. Namun, dibalik kegigihan itu, masyarakat dari pulau garam ini memiliki rasa humor yang khas.

Karakter lain yang lekat dalam diri orang-orang Madura adalah perilaku yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang tegas dan ucapan yang jujur kiranya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa kita rasakan jika berkumpul dengan orang Madura.

Sosok yang berpendirian teguh merupakan bentuk lain dari kepribadian umum yang dimiliki suku Madura. Mereka sangat berpegang pada falsafah yang diyakininya. Apa pun mereka lakukan untuk mempertahankan harga diri.

Masyarakat Madura sangat taat beragama. Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting sebagai penanda identitas etnik suku ini. Bagi orang Madura, agama Islam seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati dirinya. Akibatnya, jika ada warga Madura yang memeluk agama lain selain Islam, identitas kemaduraannya bisa hilang sama sekali. Lingkungan sosialnya 'akan menolak', dan orang yang bersangkutan bisa terasing dari akar Maduranya.

Hebatnya, meminjam ungkapan MH Said Abdullah, pendiri Said Abdullah Institute (SAI) yang juga menjadi sponsor acara Kongres Kebudayaan Madura ini, di luar urusan perkawinan, masyarakat Madura sangat terbuka dan menghargai perbedaan identitas keagamaan. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama dengan orang lain.

"Tidak pernah ada pembakaran tempat ibadah di Madura hanya karena perbedaan keyakinan agama, kecuali karena konflik politik," ujar tokoh Madura asal Sumenep ini.

Korban Stigmatisasi

Namun di luar nilai-nilai positif yang konstruktif tersebut – mengutip pidato kebudayaan Said Abdullah - terdapat sebuah stigma yang mendera suku Madura sejak lama.

"Terdapat sebuah stigma sosial yang sudah lama dipergunakan 'orang luar' untuk mengidentifikasi masyarakat Madura hingga kini, yaitu keterbelakangan dan kekerasan. Dua label yang belum tentu benar itu selalu muncul ketika orang-orang berbicara tentang Madura dan masyarakatnya," kata Said yang juga penulis buku 'Membangun Masyarakat Multikultural' ini.

Kekasaran seakan-akan menjadi atribut yang melekat dalam jati diri masyarakat Madura. Banyak orang mencitrakan masyarakat dan kebudayaan Madura dengan sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam penyelesaian masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Masyarakat Madura pada dasarnya adalah orang berwatak keras dan bertemperamen tinggi.

Tanpa bermaksud membenar pencitraan itu, sejarawan Kuntowijoyo coba mengaitkannya dengan kondisi alam. Alam Madura memang kurang subur, relatif kering dan gersang. Kondisi ini memaksa masyarakatnya bekerja keras.

Para petani harus berjuang keras untuk mempertahankan hidup. Bahkan demi sejengkal tanah, mereka rela meregang nyawa. Maklum, tanah adalah darah dagingnya petani.

Para nelayan juga harus berani melawan derasnya ombak di lautan. Kondisi tersebut menjadi faktor penyebab mengapa laju pembangunan di sini relatif tertinggal dibandingkan daerah lain, khususnya di wilayah Jawa Timur, dan mendorong sebagian besar warga Madura bermigrasi ke daerah lain sejak puluhan tahun silam.

Ada yang mengaitkan citra kekasaran masyarakat Madura dengan pengalaman masa lalu. Di masa kapitalisme kolonial, masyarakat Madura mengalami proses eksploatasi dan dan dehumanisasi. Perlakuan itu melahirkan perilaku kriminal di tengah masyarakat.

"Ketika itu kewibawaan penguasa menurun, kepercayaan kepada pemegang hukum adat hilang, sehingga muncul berbagai ketidakpastian yang selanjutnya menyebabkan maraknya tindakan sewenang-wenang di masyarakat," tulis sosiolog asal Universita Nijmegen (Belanda) Dr Huub de Jonge yang juga menjadi salah satu pembicara dalam acara kongres ini.

Menurut Huub, kekerasan itu mulai tumbuh sekitar awal abad 19 ketika kaum nningrat dan penguasa dalam kehidupan konsumerisme yang segala pembiayaannya ditanggung rakyat.

Mengutip laporan Brest van Kempen, seorang pejabat pemerintahan kolonial di Bangkalan, Huub menyebut antara tahun 1847-1849 setiap hari terjadi pembunuhan dan mayat-mayat korban selalu dibuang di alun-alun kota. Angka kejahatan terus meningkat dibanding masa-masa sebelumnya.

Kondisi tersebut memicu pengungsian ribuan warga Madura atau menyeberang ke Jawa pada pertengahan abad 19. Mereka ingin menghindari segala bentuk penekanan, penindasan, dan pemerasan. Untuk berjaga-jaga, mereka selalu membawa pisau – satu kebiasaan yang masih bisa ditemukan hingga saat ini.

Sejak itu, orang Madura dan pisau adalah satu, mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda 1922. Jika orang Madura dipermmalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.

Meskipun sulit dibantah bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Madura masa lalu, Edhi Setiawan – salah seorang pemakalah dalam kongres kebudayaan yang disponsori Said Abdullah Institute ini – menampik jika masyarakat Madura diidentikkan dengan kekerasan. Sepanjang perjalanan sejarah suku Madura, kata dia, amat sulit ditemui data-data mengenai tindakan-tidakan seperti perkelahian antar desa/kampung, kekerasan berbau SARA, dan sebagainya terjadi di Madura.

Jenis pekerjaan seperti mengkondisikan mereka mengkondisikan mereka bersikap tegas, berani, dan terkadang berlaku kasar agar tetap eksis. Dalam kasus-kasus tertentu, temperamen orang-orang Madura yang 'serba keras' itu dimanfatkan segelintir orang untuk menekan lawan (premanisme) dalam menyelesaikan masalah.

Kajian yang Jarang

Sayangnya, lanjut Edhi Setiawan, amat jarang kajian akademis mengenai masyarakat Madura di tempat leluhurnya dibandingkan penelitian tentang orang Madura di seberang lautan. Persoalan serupa diakui Dr Huub de Jonge, seorang peneliti Madura dari Universitas Nijmegen (Belanda). Kajian tentang orang-orang Madura di perantauan lebih banyak terkait dengan kekerasan. Padahal di pulau Madura sendiri terdapat hal positif, baik tata nilai, agama, maupun karya-karya seni seperti seni tari, ukiran, musik dan sebagainya. Bahkan, mengutip seorang peneliti luar, Mien A. Rifai mengatakan Madura bukan pulau melainkan benua. Madura memang kecil, tetapi unsur-unsur kebudayaannya sangat kaya.

Mungkin karena kuatnya pencitraan negatif tersebut, sebagian orang-orang Madura di perantauan, terutama kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan jati dirinya sebagai orang Madura.

Kebudayaan Madura menghadapi tantangan dahsyat dewasa ini. Tantangan paling utama adalah bagaimana menghapus stereotipe negatif yang sudah terlanjur lengket di benak banyak orang tentang masyarakat Madura yang keras.

Huub de Jonge menyarankan anak-anak kandung Madura sendiri yang memprakarsainya. "Masyarakat Madura seharusnya jangan menanamkan pada diri sendiri sebagai orang keras. Kalau mereka menganggap dirinya keras, orang-orang lain akan melihatnya dan mempercayainya. Sama seperti orang yang setiap hari merasa dirinya bodoh, orang lain pun akan menilainya bodoh. Orang Madura harus berhenti menganggap dirinya orang keras."

Tentu ada orang Madura yang kasar dan keras. Orang seperti itu ada di mana-mana. Mereka tidak mengenal suku, etnis, dan agama. Di sisi lain, penyair Zawawi Imron dan Said Abdullah mengingatkan bahaya dari derasnya arus globalisasi terhadap eksistensi kebudayaan Madura. Bayangkan, dari sekitar 13,5 juta warga Madura saat ini, hanya 3 juta yang tinggal di pulau garam ini, selebihnya mengadu nasib ditanah rantau. (*)

Sumber: Surabaya Post, 18/03/07

Labels: , , ,

Monday, March 19, 2007

Sastra Madura dan Kekerasan

Sastra Madura yang penuh dengan pesan, kesan, kritik dan ajaran-ajaran sempat lenyap dari permukaan , di masa lampau sastra lisan madura sangat diminati oleh masyarakat dari kalangan grass root (rakyat jelata) sampai kalangan elit (kraton), karena dengan sastra tersebut rakyat madura dapat mengeskpresiankan diri, menyampaikan pesan moral, gejolak hati, ajaran agama.

Orang Madura yang terkenal keras menghadapi hidup, maju menentang arus, masih sempat untuk mendendangkan sastra–sastra, dengan kondisi geokrafis yang panas, ombak lautan yang garang, maka sastra-satranya penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat.

Oleh Halimi Zuhdy LS

Di antara sastra Madura yang sangat di gemari antara lain, dongeng, lok-olok, syi’ir, tembang, puisi mainan anak-anak. Dungngeng Madura adalah cerita atau kisah yang di ambil dari cerita-cerita rakyat madura, yang mengandung beberapa pesan, dan harapan. Dongeng ini sering di dendangkan dalam pengajian, perkumpulan-perkumpulan. Sehingga hal tersebut di anggap primer dalam menumbuhkan kembangkan tradisi-tradisi yang ada dipulau madura. Dan dongeng tersebut merupakan cermin kehidupan pada masa lampau.

Sedangkan Syi’ir merupakan untaian kata-kata indah, dengan susunan kalimat-kalimat yang terpadu. Biasanya syi’ir ini di baca di pesantren-pesanten, majlis ta’lim, dan walimatul urs. Tembeng tidak jauh berbeda dengan syi’ir, biasanya tembang di baca ketika punya hajat atau akan mengawinkan anaknya, yang di baca oleh dua orang atau lebih sepanjang malam.

Sastra Madura yang akhir-akhir ini, disinyalir semakin melemah karena publik kurang memperhatikan sebagai mana diungkapkan oleh Prof Dr Suripan sadi Hotomo 'Sastra Madura' (modern) telah mati, sebab sastra ini tak lagi mempunyai majalah BM (Berbahasa Madura-Red). Buku-buku BM pun tak laku jual.

Dan, sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian dewasa ini sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada, yang berminat menulis sastra dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh sastrawan Madura, seperti Abdul Hadi WM, Moh. Fudoli, dan lain-lain lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia.

Sedangkan nama-nama penerjemah sastra Madura yang terkenal seperti SP Sastramihardja, R. Sosrodanoekoesoemo, R. Wongsosewojo kini telah tiada dan belum ada penggantinya. Mungkin hal ini merupakan sebuah proses sastra Madura sedang mengindonesiakan diri. Namun, meskipun demikian sastra Madura tidaklah lenyap dari peredaran tampa menyisakan bekas sedikitpun.

Meskipun ada pendapat modern yang menyatakan bahwa sastra tidak harus menjadi cermin masyarakat, tidak dapat di buat rujukan terhadap fenomena yang berkembang dalam masyarkat tersebut, dan juga sastra bukanlah merupakan gambaran dari kehidupan yang ada pada masyarkat tersebut, namun berbeda dengan sastra Madura yang justru menjadi cermin dari kesanggupan menghadapi kehidupan; alam yang keras, panas yang menyengat, lautan yang garang, dan berbatu cadas, disinilah sastra Madura menjadi cermin kehidupan di samping sikap terhadap Tuhan yang menciptakan alam semesta.

Selama ini orang Madura yang terkenal dengan kekerasaanya, baik watak, sikap, kemauan, berpendapat, dan segala bentuk kekerasan ditujukan pada orang Madura. Sehingga image tentang Madura dihadapan publik buruk dan jauh dari sikap santun dan damai. Sastra Madura dalam hal ini sangat memberikan kesan dan peran , bahwa anggapan publik selama ini tentang kekerasan yang sering diidentikkan dengan jahat, marah, amoral, kasar, tidak bersahabat tidaklah benar.

Kekerasan berbeda dengan keras, keras memang merupakan watak kebanyakan orang Madura, yang memang kondisi kultural dan geografisnya panas, ombak lautan yang garang, gunung-gunung yang terjal, bebatuan yang kokoh, menjadikan watak orang medura keras. Keras dalam hal ini, dalam kemauan, memegang prinsip, aqidah, dan keras terhadap ajaran-ajaran agama. maka sastra-satranya penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat, menentang kema’siatan, keras terhadap musuh-musuh yang mencoba menghancurkan aqidahnya. Sastra Madura (syair) , yang kebanyakan lewat pesatren dapat membuktikan bahwa isi dan kandunganya mengadung ajaran yang ketat.

Sosok Zawawi dengan celurit emasnya, mampu mengubah persepsi di hadapan publik bahwa celurit sebagai alat pembunuh menjadi alat yang bermamfaat bagi kehidupan orang Madura, yang memang menjadi ciri khas orang Madura. Yang jelas Sastra Madura mampu meluluhkan hati dan gejolak masyarakat Madura, dan menghilangkan kesan terhadap anggapan-anggapan bahwa orang Madura kasar, jahat dan amoral. Sastra yang selalu diindentikan dengan halus, indah maka demikian juga sastra Madura yang penuh dengan mutiara-mutiara kata, rangkain kalimat yang indah dan penuh dengan nuansa regilius.

Potena mata tak bisa ngoba karep
Biruna ombha’ abarnai kasab
Pangeran mareksane ngolapah ateh
Galinah batoh, tebbellah bhumi tak kobasa
Ngoba ngagalinah Pangeran


Halimi Zuhdi LS, Peneliti sastra, cerpenis dan Mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN Malang, Alumni Fakultas Humaniora Budaya, Jurusan sastra Arab UIN Malang, dan kini Ketua Linguistic and Literature Malang


Sumber: Penulis Lepas, 22/12/2005

Labels: , , , ,