Wednesday, August 29, 2007

Siapa Bilang Provinsi Madura Tidak Siap?

Untuk menjadi provinsi tak harus menunggu kesiapan SDM. Pembangunan SDM dan infrastruktur ini bisa dilakukan secara simultan dengan pembentukan provinsi. Gorontalo dengan Fadel Muhammad saja mampu membuat provinsi, mengapa Madura dengan banyak cendekiawan masih gamang?

Menyimak sambutan Ketua Penyelenggara Musyawarah Besar III Masyarakat Madura Se-Indonesia HR Ali Badri Zaini, kita bisa terkejut. Pulau Madura sungguh sangat kaya. Ternyata Madura memiliki 104 blok sumber migas yang sudah dikapling& investor, dan baru 14 blok di antaranya yang dieksploitasi.

Tapi, berapa nilai keuntungan hasil eksploitasinya tak ada masyarakat Madura yang tahu. Mereka hanya tahu, di Madura dan kepulauan yang mengelilinginya itu terdapat titik-titik sumber migas. Faktanya juga, mereka hanya tahu hasil sumber migas itu disedot dan dialirkan ke Pulau Jawa.

Saat ledakan pipa gas di jalan tol Surabaya-Gempol Km 38 pada 22 November 2006, mereka baru tahu kalau dari Pulau Pagerungan Besar, Kecamatan Sapeken, Sumenep, setiap harinya mengalir 200 juta kaki kubik (BCF) gas melalui pipa sepanjang 350 km (di laut) dan 80 km (di darat) ke Gresik.

Gas dari sumber migas Blok Kangean yang dikelola PT Arco Bali North (ABN), PT Arco Blok Kangean (ABK), PT Beyond Petroleum Indonesia (BPI), dan PT Energi Mega Persada (EMP) Ltd itu disuplai ke 25 industri di Gresik, seperti PT Petrokimia, PT Gas Negara (PGN), dan PT PLN Distribusi Jawa-Bali. Itu adalah fakta yang terlihat, bukan sekadar data.

Dari pulau seluas 50 hektare ini saja setiap harinya menghasilkan 11,74 juta barel minyak dan kondensat, serta 947 juta kaki kubik gas. Tapi, kita tak tahu, ke mana larinya 11,74 juta barel minyak dan kondensat, serta 747 juta kaki kubik gas sisanya.

PT Pertamina mencatat, Blok Kangean memiliki cadangan lebih dari satu triliun kaki kubik (TCF) gas. Produksi gas ini bisa dioptimalkan menjadi 800 juta kaki kubik per hari. Sangat kaya, bukan? Tapi, masyarakat Sumenep hanya kecipratan hasilnya dari PBB sebesar Rp 6 miliar per tahun.

Jelas, nilai itu tak sepadan dengan kekayaan yang diambil dari perut pulau
gas ini. "Dinding dan atap rumah warga di sana masih banyak yang terbuat dari kayu, pelepah, dan daun," ungkap Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Masyarakat Madura (FKMM) Harun Al-Rasyid.

Selama ini, kehidupan mereka masih tetap mengandalkan pada kekayaan laut, seperti hasil tangkapan ikan yang dijual ke Jawa-Bali. Seperti halnya masyarakat di Kabupaten Timika, Papua, mereka tak pernah bisa menikmati hasil kekayaan alam yang disedot dari bumi yang dipijaknya.

Untuk mengais limbah hasil eksploitasi PT Freeport Indonesia itu saja dilarang. Entah sudah berapa juta atau miliar batang emas yang diangkut kapal untuk dikirim ke Amerika Serikat, mereka tak pernah tahu. Mereka hanya tahu fakta, ada pipa berdiameter 1,5 m yang mengarah ke laut.

Ini berbeda dengan masyarakat Pagerungan Besar. Mereka tak tahu dibawa ke mana sebanyak 11,74 juta barel minyak dan kondensat, serta 747 juta kaki kubik gas sisa setiap hari yang dihasilkan. Karena di sekitar Pagerungan Besar tak pernah terlihat ada kapal tanker yang mengangkutnya. Atau mungkin ada saluran pipa lain yang mengarah ke tengah lautan lepas,

Sumber Daya Manusia

sehingga tak ada yang tahu jika setiap hari sudah ada kapal tanker yang menampung dan membawa langsung ke luar negeri. Tapi yang jelas, berdasarkan data yang diperkuat fakta, di sana ada hasil eksploitasi sebesar itu.

Kondisi itu sangat kontras dengan keadaan pendatang yang tinggal di kamp-kamp yang bekerja untuk ABN, ABK, BPI, dan EMP. Masyarakat di sana hingga kini masih tetap menjadi penonton setia, meski kekayaan alamnya dibawa entah ke mana. Mereka bisa menjadi juragan di sana.

Sebagian fakta tersebut sudah cukup membuktikan kekayaan Madura. Ini belum lagi sumber migas lainnya seperti di lepas pantai utara Bangkalan yang dikuasai PT Kodeco. Tapi, apa yang diperoleh Bangkalan? Paling-paling cuma retribusi PBB saja. Masyarakat Bangkalan tak menjadi juragan.

Akibat hasil kekayaan alam itu semua dikuasai negara dan para investor, banyak masyarakat Madura yang terpaksa harus merantau ke daerah lain. Bahkan, tidak sedikit yang bekerja di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi, Mesir, Jordania, dan Kuwait sebagai TKI.

Ibarat perusahaan, Madura selama ini hanya menjadi PT Madura Bangun Persada yang hasilnya sebagian besar (80 persen) masuk ke Jakarta untuk dana pembangunan nasional. Itu baru yang tampak dari data. Sedangkan yang tidak terlapor, kita tak pernah tahu sampai berapa banyak.

Seorang teman peneliti perusahaan asing menceritakan, dari berbagai pulau yang pernah disurvai timnya, Madura merupakan pulau dengan sumber migas terbanyak. "Jangan dikira, di bawah tanah atau dataran yang tandus itu justru sumbernya migas yang bisa keluar sendiri," katanya.

Selain migas, Madura juga memiliki phosphat, pasir kwarsa, dolomit, kapur, dan lain-lain, sebagian di antaranya sudah ada yang dieksploitasi. Dan konon, dari pantauan satelit Amerika, Pulau Madura juga mengandung uranium, besi, dan emas. Akankah semua itu bisa memakmurkan rakyatnya?

Belum tentu! Jangan harap Madura bisa makmur jika tetap menunggu pembagian dari Jawa Timur yang cuma 20 persen. Apalagi, yang 20 persen ini dibagi lagi dengan daerah lainnya di sini, maka yang kembali ke Madura mungkin tak sampai satu persen. Ini berbeda jika Madura menjadi provinsi sendiri.

Nilai 20 persen dari hasil pembagian itu tentu saja sangat berarti bagi daerah-daerah di Madura. Terlebih, jika bagi hasil yang 80 persen kembali ke Madura, ini bisa membawa kemakmuran. Madura akan menjadi “pulau terkaya” di dunia dari migasnya.

Sayangnya, masih ada anggapan, Madura belum siap. Alasannya, kualitas sumber daya manusia (SDM) di Madura kurang memadai. Seperti kata Mahfud M.D., sampai saat ini 70 persen penduduknya hanya lulusan setingkat SD dan, bahkan, dropout. Sehingga, Madura masih butuh waktu minimal 10-15 tahun lagi untuk menjadi provinsi sendiri.

Jika ukuran pendidikan formal saja yang dipakai Mahfud, bisa jadi data yang dikutip dari hasil penelitian Azis Djakfar, dosen Universitas Trunojoyo (Unijoyo), pada 3,5 juta jiwa penduduk Madura, benar adanya. Tapi, di Madura itu terdapat ribuan ponpes yang memberikan pendidikan informal.

Lulusan ponpes ini tak pernah minta pekerjaan atau proyek seragam, laptop, studi banding, dan sebagainya, seperti yang dilakukan anggota dewan. Para ulama pengasuh ponpes justru mencetak santri mandiri. Setelah lulus, mereka melanjutkan studi di Kairo, Yaman, Mekkah, dan Madinah.

Madura sebenarnya telah melahirkan banyak cendekiawan, seperti profesor, birokrat, jenderal, dan ulama. Orang Madura juga telah membuktikan kemampuannya membuat wilayah seperti di Tapal Kuda Jatim dan sebagian Kalimantan. Tapi, mengapa Mahfud menilai Provinsi Madura tak realistis? "Jika ingin maju, Madura harus berani menjadi provinsi sendiri," tegas Ketua FKMM Jenderal Purn Polisi Roesmanhadi dan Jenderal Purn TNI Wismoyo Arismunandar ketika memberikan sambutan dalam Mubes III ini.

Tak ada alasan untuk menolak pembentukan Provinsi Madura. Untuk menjadi provinsi tak harus menunggu kesiapan SDM. Pembangunan SDM dan infrastruktur ini bisa dilakukan secara simultan dengan pembentukan provinsi. Gorontalo dengan Fadel Muhammad saja mampu membuat provinsi, mengapa Madura dengan banyak cendekiawan masih gamang?

Jangan jadikan alasan SDM yang rendah untuk menghambat Provinsi Madura. Negara Brunai Darussalam yang tak punya tenaga ahli, mampu menghidupi rakyatnya dengan migas. Mereka bisa mengikat investor dengan 51 persen sahamnya dikuasai perusahaan lokal dan membayar tenaga ahli.

Sekarang tinggal pilih. "Mau jadi miskin sekalian atau terkaya?" begitu kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), KH Nuruddin A Rachman yang hadir dalam Mubes III tersebut. Ini bisa menjadi pilihan yang mudah, bukan? Mengapa mesti takut dengan kehadiran Provinsi Madura?

Mochamad Toha, Jurnalis dan Pemerhati Kebijakan Publik

Sumber: Surya, Wednesday, 29 August 2007