Thursday, October 04, 2007

MUSAFIR DI BATU AMPAR

Seorang musafir mengurai waktu di perbukitan tandus Batu Ampar, Pamekasan. Di antara nisan makam dan sunyi, Huda (49), sang musafir itu, membenamkan diri dalam doa.

Pria berperawakan kurus asal Desa Ploso, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar, itu genap sebulan tinggal di Pesarean Batu Ampar Barat. Pesarean Batu Ampar Barat adalah kompleks pemakaman keluarga kiai-kiai keturunan Syech Abdul Manan, yang sering disebut sebagai Buyut Kesambi.

Kompleks seluas sekitar 0,5 hektar itu menjadi obyek ziarah umat Islam, terutama setiap Jumat Legi. Lokasinya di Desa Pang Bathok, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, Madura. Dari Kota Pamekasan jaraknya sekitar 15 kilometer ke arah barat.

Sabtu (08/09) siang itu, seperti hari-hari sebelumnya, Huda (40) duduk di belakang meja kecil dalam ruang mungil yang disebutnya sebagai kantor di Pesarean Batu Ampar, Pamekasan. Berjam-jam pria kurus setinggi 170 sentimeter itu duduk. Di atas meja terdapat buku tamu dan buku silsilah kiai di Batu Ampar yang dijual Rp. 10.000-an.

Berkemeja batik dipadu celana panjang hitam tidak membuat Huda menonjol dibanding meja di depannya. Bahkan kopiah putih di kepalanya pun tetap tidak menolong. Justru papan kayu berukuran 40 sentimeter x 80 sentimeter yang menggantung pada tembok, tepat di belakang punggung Huda, lebih mencuri fokus. Di situ tertulis beberapa nama kiai yang disemayamkan di Batu Ampar.

Saat datang rombongan 30-an peziarah yang mayoritas ibu-ibu, Huda pun bertanya, "Dari mana, Pak?". Mustaqin (27), pemimpin rombongan yang masuk ke kantor, membalas, "Dari Tuban, mas".

Huda lalu meminta Mustaqin mengisi buku tamu dan membaayar retribusi yang tarifnya Rp. 20.000,- per bus. Kemudian Mustaqin menyusul rombongan yang sedang mencari tempat longgar di sekitar nisan.

Di Batu Ampar, Huda menjadi semacam penjaga. Ia mengenalkan diri sebagai musafir dan menolak untuk disebut juru kunci. Tugas sehari-hari melakukan pemnbukuan harian dan melayani sekaligus menata para peziarah kala jumlahnya membludak.

"Saya di sini untuk mencari ketentraman batin. Ini hanya laku prihatin kok, mas, bukan pilihan hidup," tutur Huda menjelaskan posisinya. Laku prihatin itu diwujudkannya dengan berkelana dari satu tempat ziarah ke tempat lainnya. Sepanjang lakunaya itu ia berucap doa kepada sang Khalik, siang dan malam.

Berkah

Suasana tempat ziarah seperti di Batu Ampar yang tenang dirasa Huda pas untuk berucap doa. Ia percaya, ada berkah di tempat-tempat peziarahan itu. Harapannya, laku prihatin yang dijalaninya akan menjadi berkah yang tercurah ke anak dan istrinya di Blitar. "Semuanya ini saya lakukan terutama demi anak saya agar semakin soleh dan hidupnya baik kelak," tutur Huda.

Saat berkelana, ekonomi keluarga Huda digantungkan pada warung kelontong. Warung itu disebutkan Huda tidak besar, tetapi bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk uang jajan Fahma (9), puterinya yang duduk di bangku kelas 4 SD.

Berawal dari rasa jenuh di rumah, pria yang sempat menjadi pegawai honorer di kantor kelurahan itu memulai perjalanannya sebagai musafir di makam Kiai Ageng Aliman di gunung Wilis, Nganjuk. Di sana Huda tinggal selama sebulan. Sejumlah tempat ziarah dirambahnya, termasuk Jogjakarta.(FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

Sumber: Kompas