Thursday, September 06, 2007

Tidak Mudah Menjadi Provinsi Madura

Dalam PP dijabarkan setidaknya ada 7 syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap daerah jika ingin menerapkan kebijakan pemekaran wilayah yakni, (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah (Dumas, 27/8)

Menanggapi tulisan Mas Mochamad Toha, jurnalis dan pemerhati kebijakan publik, “Siapa Bilang Provinsi Madura Tidak Siap?” Harian Surya, Kamis 30 Agustus 2007 menarik untuk disimak dan ditelaah kembali. Mungkin tulisan ini hanya sebatas pelengkap atau respons terhadap beberapa opsi yang di tawarkan oleh Mas Toha, tentang sebarapa jauh kesiapan Madura menjadi provinsi.

Impian masyarakat Madura menjadi provinsi sebenarnya bukan isu baru. Madura merupakan pulau yang kaya akan gas bumi. Bahkan dunia telah mencatat palau Pangerungan (Sumenep) merupakan daerah penghasil gas alam. Hingga kini telah banyak perusahaan migas dalam negeri  maupun luar negeri  melakukan eksplorasi di pulau itu. Bahkan beberapa blok telah selesai dilakukan drilling (pengeboran).

Dari pulau yang seluas 50 hektare ini setiap harinya menghasilkan + 11,75 juta barel minyak, serta 947 juta kaki kubik gas. Selain migas, Madura juga memiliki phosphat, pasir kuarsa, dolomit, kapur, garam, dan lain-lain (Surya, 26/8).

Berangkat dari latar belakang itulah (Baca: Mochamad Toha) selayaknya Madura “siap” menjadi sebuah provinsi baru di Indonesia, memisahkan diri dari provinsi induk Jawa Timur. Seperti provinsi Banten (Jawa-Barat), Gorontalo (Sulawesi-Utara), Bangka Belitung (Sumatera-Selatan), Kepulaun Riau (Riau), Maluku Utara (Maluku) dll.

Ada beberapa alasan yang membuat Mas Toha, optimistis Madura menjadi provinsi. Pertama, tidak harus menunggu kesiapan SDM dan infrastruktur. Ini bisa dilaksanakan secara simultan dengan pembentukan provinsi. Mas Toha bercermin ke Gorontalo dengan Fadel Muhammad sebagai Gubernurnya. Harus diakui Madura tidak bisa disamakan dengan Gorontalo. Secara Sumber Daya Alam (SDA) mungkin bisa. Tapi siapa yang akan menjadi pucuk pemimpin (gubernur), ini menjadi tanda tanya besar untuk bisa menjadi Fadel Muhammad ke-2 di Madura.

Kedua, alasan Mas Toha, Madura tidak akan pernah maju kalau tidak menjadi provinsi. Selama ini hanya menunggu anggaran 20 persen dari Jawa Timur. Inipun masih akan dibagi dengan daerah lainnya. Sepantasnya Madura mendapat 80 persen sehingga menjadi pulau terkaya di dunia dengan migasnya. Maka satu-satu jalan untuk mensejahterahkan masyarakat Madura ialah membentuk provinsi sendiri.

Ketiga, angka 70 persen bagi Mas Toha, bahwa masyarakat Madura hanya lulus setingkat SD bahkan droup out. Dikutip dari pernyataan Mahfud MD, yang diambil dari data hasil penelitian Aziz Djakfar, Dosen Unversitas Tronojoyo. Mas Toha tidak terima kalau SDM di Madura dikatakan lemah, juga tidak tepat dijadikan alasan ketidaksiapan menjadi provinsi Madura. Ini berarti mengesamping potensi pendidikan informal (pesantren) di Madura  yang banyak mengeluarkan alumni mampu menempuh pendidikan di Mesir, Yaman, Mekkah, dan Madinah.

Menjadi catatan untuk Mas Toha, bahwa untuk membangun Madura betul-betul membutuhkan orang-orang yang “alim” dibidangnya. Tidak hanya “faham” dalam hal keagamaan saja. Hemat penulis, benarkah alumni pesantren-pesantren itu di negeri sana belajar ilmu sains dan teknologi? Rata-rata mereka masih sebatas belajar ilmu sebatas pemahaman teks-teks keagamaan (baca : Historiografi Indonesia 2007). Padahal Madura membutuhkan orang yang cukup andal di bidang pembangunan industri dll.

Batu Sandungan

Kalau melihat sejarah dan pengalaman orang Madura yang berhasil membentuk kabupaten kota di tempat lain. Sepertinya tidak perlu ragu masyarakat Madura untuk menuju Madura mandiri.

Tetapi dalam rangka meng(iya)kan Madura menjadi provinsi harus melewati suatu proses. Petama, yakni pendapatan rata-rata perkabupaten masih rendah, sementara Mas Toha hanya mendiskripsikan kekayaan alam dari Kabupaten Sumenep saja. Kedua, untuk menjadi provinsi harus ada 5 (lima) Kabupaten/Kota. Sementara Madura hanya memiliki empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pemekasan, dan Sumenep.

Untuk melakukan pemekaran wilayah, suatu daerah (sekumpulan kabupaten) harus merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 tahun 2000 sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) dari UU No 22/1999 pemerintah daerah tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.

Dalam PP dijabarkan setidaknya ada 7 syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap daerah jika ingin menerapkan kebijakan pemekaran wilayah yakni, (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) jumlah penduduk, (6) luas daerah, dan (7) pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah (Dumas, 27/8).

Semua persyaratan di atas dalam PP tersebut isinya bersifat akumulatif, dengan pengertian untuk bisa direalisasikan semua syaratnya harus dipenuhi. Kalau dari semua syarat di atas hanya terpenuhi sebagian, dikhawatirkan justru akan menjadikan wilayah (provinsi Madura) ini kolaps.

Perda Syari'ah

Apa yang ada dibenak seseorang ketika mendengar nama Madura. Sering terlintas dibenak seseorang bahwa Madura itu gersang, tandus, kering, garam, ndeso, terbelakang, buta informasi, orangnya keras-keras, tak berbudi pekerti, ada satu lagi istilah yang kedengarannya membuat orang merinding. Apa itu? Carok.

Pada kenyataannya tidak seperti apa yang diutarakan diatas. Madura itu ternyata indah, cantik, suci dan tidak terkontaminasi oleh maksiat. Jika pembangunan jembatan Suramadu selesai, tidak mustahil nantinya daerah ini menjadi rebutan dan incaran para investor (Surya, 26/8/07).

Membangun Madura tidaklah segampang membalik telapak tangan. Penduduk Madura terdiri dari pelbagai macam khas dan beragam, mulai karakter bahasa daerah, kesenian, budaya, serta tradisi (adat) yang ada.

Rencana membangunan Madura sudah 30 tahun yang silam diperjuangkan oleh mantan Gubernur Jawa Timur, HM Noer. Pelbagai acara deklarasi, seminar, pelatihan, dan pendampingan telah dilaksanakan, tetapi tidak mendapat respons dari masyarakat Madura.

Beberapa bulan yang silam sempat ada sinyelemen wacana mewujudkan provinsi Madura Serambi Madinah. Deklarasi ini telah ditanda tangani oleh MUI se-Madura, perwakilan kiai se-Madura, Ormas, DPRD se-Madura, Bupati Bangkalan, Sampang, Pamekasan. Tapi sia-sia karena Bupati Sumenep, KH Moh Ramdlan Siroj, tidak mau menandatangani berita acara tersebut.

Kita tidak boleh menutup mata, untuk tidak tergesa-gesa mendirikan provinsi Madura. Persoalannya kalau Madura menjadi provinsi, bagaimana dengan istilah Madura Serambi Madinah tadi. Akhirnya, akan berlanjut bukan hanya memperdayaan masyarakat Madura. Walhasil berunut pada penerapan Peraturan Daerah (Perda) Syari'at Islam di Madura tidak mustahil nantinya Madura nasibnya sama seperti Aceh. Bahkan bisa berujung kepada 'Madura Merdeka'.

Pandangan penulis, Musyawarah Besar (Mubes) ke-3 Masyarakat Madura se-Indonesia yang berlangsung di Hotel JW Mariot Surabaya (26/8). Bertema 'Membangun Masyarakat Madura dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)', bukan satu-satu alasan untuk Madura jadi provinsi. Lebih tepatnya adalah sebagai sarana silaturrahim dan Gerakan Kembali Ke Madura (GKM) ini perlu sebagai upaya percepatan pembangunan 'Pulau Madura' dan antisipasi menyongsong dibangunnya jembatan Suramadu sebagai pintu gerbang dan industrialisasi di palau garam ini.

Kalau pelbagai pihak masih bersikeras mempertahankan (kepentingan) Madura tetap jadi provinsi.

 Ada dua (harapan tentunya) pertanyaan yang sekiranya perlu dijawab untuk masyarakat Madura. Pertama, apa dengan Madura menjadi provinsi merupakan sesuatu hal yang dianggap “final” untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat Madura?. Kedua, apakah semua isu dan statement itu merupakan persepsi sepihak (pribadi/kelompok) atau mewakili masyarakat Madura secara umum? Sementara, faktanya sampai saat ini masyarakat Madura masih belum siap menjadi sebuah provinsi. Ini terbukti Kabupaten Sumenep masih dengan isu perubahan nama Kabupaten Kepulauan Sumenep, menandakan bahwa daerah kepalauan tidak siap lepas dari daratan menjadi kabupaten sendiri.

Ach Syaiful A'la, Oreng Madura Sumenep. Aktif di Lembaga Kajian & Survey Nusantara (LAKSNU)

Sumber: Surya, Monday, 03 September 2007

Labels: , , ,