Saturday, November 24, 2007

Dijerat Dakwaan Berlapis

Tiga Terdakwa Kasus Dinas Pengairan

Tiga terdakwa kasus dugaan korupsi dinas pengairan Sumenep kemarin secara bergiliran menjalani sidang perdana. Kali pertama di sidang R Edy Mustika (mantan kepala dinas pengairan), lalu Muhtar Hadi, dan Mulyadi.

Sidang Edy dimulai pukul 09.22, makan waktu paling lama. Maklum, tim jaksa penuntut umum (JPU) mencoba menggambarkan kronologis kasus pengairan dalam dakwaan setebal 27 halaman tersebut. Sedang dakwaan bagi Muhtar dan Mulyadi lebih tipis, sekitar 10-11 halaman. Sebab, dakwaan bagi kedua rekanan pelaksana proyek dinas pengairan yang menjadi objek kasus tersebut langsung ke pokok persoalan.

Dalam dakwaan pada Edy diceritakan asal-muasal kasus, yakni proyek pengembangan pompanisasi untuk optimalisasi lahan pengadaan dan penggantian mesin dan pompa pada 2005. Lokasi proyek tersebar di sejumlah desa di Kecamatan Lenteng, Guluk Guluk, Rubaru, Batang Batang, Gapura, Kalianget, Saronggi, Ambunten, Pasongsongan, dan Kota Sumenep. Proyek tersebut dibagi menjadi dua paket.

Paket pertama sebesar Rp 1.282.134.000 dikerjakan oleh Muhtar (direktur CV Karya Bakti Sumenep) dan paket kedua Rp 1.217.000.000 oleh Mulyadi (pemilik CV Dua Bintang Sumenep). Dalam perjanjian kontrak tertanggal 23 November 2005, jangka waktu penyelesaian pelaksanaan paket pertama sejak 23 November 2005 sampai 23 Desember 2005. Begitu juga waktu penyelesaian pelaksanaan paket kedua.

Jenis mesin penggerak dan pompa turbin yang harus disediakan adalah merek Deutz dan Rovatti. Untuk pengadaan mesin penggerak dan pompa turbin itu, Edy sebagai pengguna anggaran memerintahkan kepada ES (saksi) untuk membuat owner estimet (OE) sesuai dengan dana yang tersedia. Namun, ES tidak bisa membuat OE. Sehingga, Edy memerintahkan ES minta tolong GFS (saksi).

GFS akhirnya membuat OE setiap harga dari barang-barang yang diperlukan dalam proyek tersebut. Terdakwa Edy sebagai pengguna anggaran juga menyerahkan sepenuhnya pembelian mesin penggerak dan pompa turbin pada GFS sebagai distributor. Ternyata, Edy tidak mengecek barang-barang yang telah dibeli sebelum serah terima. Padahal, dia harus mengecek untuk memastikan barang sudah sesuai dengan perjanjian.

Akibat tidak dicek secara adminitratif maupun ke lokasi, ternyata sejumlah mesin penggerak dan pompa turbin yang dipasang tidak sesuai spesifikasi. Penyelesaian pelaksanaan proyek, baik paket pertama dan kedua, juga tidak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Tapi, terdakwa bersama dua rekanan pelaksana bisa mencairkan dana 100 persen dari nilai kontrak.

Akibat penyimpangan pemasangan barang tidak sesuai spesifikasi yang diawali dengan tidak adanya pengecekan itu, terjadi selisih Rp 484.373.230,00. Riciannya, paket pertama Rp 219.955.000 dan paket kedua Rp 264.418.230. Dana selisih itu seharusnya dikembalikan pada negara (Pemkab Sumenep). Tapi, tidak dikembalikan, malah digunakan untuk kepentingan sendiri oleh Edy dan dua rekanan pelaksana.

Sesuai perjanjian kontrak, untuk kelancaran pelaksaan proyek seharusnya ditunjuk konsultan pengawas. Namun, konsultan pengawas ternyata tidak ditunjuk secara bersamaan dengan penetapan (rekanan) pelaksana proyek. Dalam dakwaan, terdakwa Edy memerintahkan SP (saksi) untuk mencarikan konsultan pengawas untuk dipinjam namanya. Padahal, konsultan pengawas ditunjuk untuk mengawasi pelaksanaan proyek.

Konsultan pengawas yang berhasil dipinjam namanya adalah CV AM pimpinan EAKD dan CV TS pimpinan NS, keduanya dari Surabaya. JPU memastikan ada peminjaman nama dengan bukti pimpinan dua konsultan pengawas itu tidak tahu tentang proses penunjukannya dan tak pernah mengawasi jalannya proyek. Jadi, selama pelaksanaan proyek dinilai tidak ada pengawasan. Namun, dana untuk pengawasan (bagi konsultan pengawas) dua paket proyek bisa dicairkan Rp 38.698.953,00 dari alokasi Rp 44 juta.

Sehingga, Pemkab Sumenep secara keseluruhan dirugikan keuangannya Rp 523.072.183,00 serta programnya tidak tercapai. Atas perbuatan secara bersama-sama itu, tiga terdakwa dijerat dengan dakwaan berlapis. Yakni, dakwaan primair melanggar pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 ayat 1, 2, 3 UU 31/1999 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) jo UU 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dakwaan subsidairnya adalah melanggar pasal 3 jo pasal 18 ayat 1, 2, 3 UU 31/1999 jo UU 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedang dakwaan lebih subsidairnya melanggar pasal 15 jo pasal 18 ayat 1, 2, 3 UU 31/1999 jo UU 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Saat sidang perdana kemarin hanya kuasa hukum terdakwa Mulyadi dari LBH Angkatan 45 Pamekasan, Achmad Rifai, yang belum menyusun nota keberatan (eksepsi). Rifai minta waktu tujuh hari untuk menyusun eksepsi. Sedang kuasa hukum terdakwa Edy dari Surabaya, Wiyono Subagyo, dan kuasa hukum terdakwa Muhtar dari Jember, Akhmad, menyiapkan dan langsung membacakan eksepsi (baca berita lainnya). Sidang kedua bagi terdakwa Edy dan Muhtar dijadwalkan pada Selasa (27/11) pekan depan. Sedang sidang Mulyadi pada Rabu (28/11) pekan depan. (yat)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 21 Nov 2007

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home