Thursday, November 05, 2009

Djamal Lawan SK Pencopotan

Dinilai Tidak Tepat, Menghadap Gubernur

Polemik pemberhentian Sekdakab A. Djamaluddin Karim semakin meruncing. SK pemecatan yang dikeluarkan Bupati Kholilurrahman mendapat perlawanan dari Djamal-sapaan Djamaluddin Karim. Selain langsung mendatangi Gubernur Jawa Timur Soekarwo, dia siap menempuh jalur hukum.

Seperti diberitakan kemarin, bupati mengumumkan pemberhentian Djamal dan digantikan Hadi Soewarso sebagai Plt Sekdakab. Menurut bupati, pemberhentian sementara Djamal dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kinerja sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Rapor Jamal versi bupati, tidak terlalu bagus.

Namun, keputusan bupati memangkas karir Djamal yang eselonnya diturunkan, mengagetkan semua pihak. Bahkan, interaktif di salah satu radio swasta kemarin pagi lebih banyak yang menyayangkan kebijakan bupati dibanding mendukung keputusan yang terkesan dipaksakan tersebut.

Sementara Djamal yang merasa pencopotannya menyimpang, melakukan upaya perlawanan untuk mempertahankan jabatan yang telah tiga tahun diembannya. Kemarin dia berkonsultasi dengan gubernur. Dia juga berancang-ancang melakukan upaya administrasi yang telah diatur dalam undang-undang.

Kepada koran ini, Djamal mengatakan, pemecatan dirinya sebagai Sekdakab dan digantikan Hadi Soewarso (Plt) tidak tepat. Bahkan, dia menuding SK bupati memberhentikan sementara dan menempatkan dia di staf ahli yang eselonnya lebih rendah menyimpang dari surat Mendagri yang dilayangkan ke gubernur tentang pemberhentian sebagai Sekkab.

Berdasarkan surat Nomor 535.212.2/2561/SJ per 3 Agustus 2009 tentang konsultasi pemberhentian Sekdakab A. Djamaludin Karim yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Mendagri Dian Anggraeni, ada tiga poin penting yang bisa menggugurkan SK bupati. Di surat yang dikirim ke gubernur itu disebutkan, berdasarkan pasal 122 ayat 3 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa sekretaris kota/kabupaten diangkat/diberhentikan oleh gubernur atas usul bupati/wali kota.

Di poin kedua, tertulis bupati/wali kota berwenang memutasi pejabat struktural di lingkungannya. Dengan catatan, kebijakan tersebut tidak merugikan karir PNS yang bersangkutan. Artinya, tidak ada penurunan pangkat/golongan/eselon.

"Saya kaget. Coba kita berpikir secara logis. Eselon saya sudah IIA, masak mau dimutasi ke eselon IIB. Jelas kebijakan itu sudah tidak sesuai dengan surat Mendagri," kata Djamal saat dihubungi koran ini kemarin siang. Dia mengaku hendak menghadap Gubernur Soekarwo di Surabaya.

Sedangkan poin terakhir menyebutkan, pemberhentian Djamal sepenuhnya wewenang gubernur. Padahal, sebelumnya bupati saat menggelar keterangan pers dengan seluruh wartawan di Pamekasan, mengakui jika belum ada persetujuan dari gubernur terkait pemberhentian Djamal.

Ditanya langkah yang akan ditempuh, Djamal mengatakan terlebih dahulu berkonsultasi dengan gubernur. Itu terkait kepastian surat Mendagri dan SK pemecatan dari bupati. Dia juga akan melakukan upaya administrasi/hukum sesuai prosedur yang ada.

"Saya sekarang sedang menunggu Bapak (gubernur), karena yang bersangkutan masih rapat. Nanti setelah ada perkembangan saya informasikan," katanya kemarin sekitar pukul 11.30.

Sekadar diketahui, meski tidak dijelaskan secara detail akar permasalahan pemberhentian sementara Djamal, bupati menyatakan, kinerja dan komitmen Djamal kurang bagus. Banyak persoalan yang seharusnya dilakukan tidak dilaksanakan.

Bupati mengakui tidak dipasangnya prasasti gedung Islamic Center adalah salah satu faktor ketidakcocokan dengan Djamal. "Banyak kerja-kerja teknis yang seharusnya dilakukan, tapi dibiarkan. Tapi, tidak usah dibuka semua," kata bupati.

Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi dan Monitoring Pamekasan (FKMP) Sahur Abadi menyayangkan sikap bupati. Menurut dia, bupati terlalu gegabah mengambil keputusan yang berujung polemik, baik tingkat masyarakat maupun pemerintahan.

"Persoalannya, jika nanti gubernur tetap menetapkan Djamal sebagai Sekdakab, apa yang akan dilakukan bupati? Tentu, kondisi itu akan memperparah keadaan, bahkan roda pemerintahan akan terganggu," katanya.

Masih Jadi Perdebatan

TAFSIR hukum atas pemberhentian sementara Sekdakab A. Djamaludin masih jadi perdebatan. Satu pihak menilai pemberhentian sah, sedangkan pihak lainnya menilai pemberhentian itu tidak lazim. Sebab, pengangkatan Sekkab harus melalui konsultasi dengan gubernur.

Ketua Komisi A DPRD Pamekasan M. Suli Faris menilai, pemberhentian Sekdakab (sementara) tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Dia merujuk pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah bab V pasal 130 ayat 2. Disebutkan, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II (setara Sekdakab) pada pemerintah kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi kepada gubernur.

Selain itu, dia membuka Peraturan Pemerintah (PP) No. 09/2003 tentang wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS. Pada bab VI pasal 21 ayat 1 disebutkan, pejabat pembina kepegawaian daerah kabupaten/kota (bupati/wali kota) menetapkan: a. Pemberhentian sementara sekretaris daerah kabupaten/kota.

Menurut dia, dua sumber hukum tersebut telah menjelaskan tidak adanya satu pasal pun yang dilanggar bupati ketika memberhentikan sementara Sekkab. Tapi jika penetapan bersifat definitif, kata Suli, itu yang tidak lazim. Dia menegaskan, pemberhentian Sekkab bersifat sementara oleh bupati adalah sah.

Pria yang tiga periode duduk di komisi A ini menilai, konsultasi dalam UU 32/2004 pasal 130 ayat 2 tidak jelas bentuk konsultasinya. Bisa jadi, kata dia, bupati dalam mengirim surat kepada gubernur bisa termasuk konsultasi. Tapi dalam PP 09/2003 dengan jelas bahwa bupati/wali kota diberi kewenangan untuk memberhentikan (sementara) Sekkab. "Menurut saya, pemberhentian sementara (pada Sekkab) itu konstitusional," tandasnya.

Namun, dari sisi administrasi negara, Dekan FIA Unira Pamekasan Abubakar Basyarahil mengatakan, pemberhentian Sekkab tersebut masih debatable (bisa diperdebatkan). Dia menyatakan, UU 32/2004 pasal 122 ayat 3 menyebut: Sekdakab/kota diangkat dan diberhentikan oleh gubernur atas usul bupati/wali kota.

Merujuk pada pasal tersebut, Abubakar menilai, pemberhentian Sekdakab A. Djamaludin Karim tidak populer. Alasannya, bupati hanya berwenang untuk mengusulkan untuk selanjutnya diangkat dan diberhentikan oleh gubernur. "Saya mendengar Sekdakab (Pamekasan) diberhentikan (sementara) oleh bupati," katanya.

Sementara pengamat hukum dari Unira, Gatot Subroto, juga menilai pemberhentian Sekkab masih debatable. Soal apakah konstitusional atau inkonstitusional, dia yakin berada pada PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Dalam kasus pemberhentian Sekkab Pamekasan, Gatot menilai bola berada di tangan gubernur. "Untuk mengakhiri dualisme ini, butuh sikap tegas gubernur," katanya. (nam/abe/mat)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 05 November 2009

Labels: , ,