Saturday, April 07, 2007

Berebut Tanah di Lahan Pegaraman

Sumenep, Surya - Setelah berjuang selama beberapa tahun, perjuangan petani garam untuk mendapatkan lahan pegaraman PT Garam membuahkan hasil. Petani garam rencananya akan diberikan lahan garapan di lokasi pegaraman yang tidak produktif. Bagaimana liku-liku perjuangannya. Berikut liputannya.


"Bismillah, kami berjuang mendapatkan hak garap di lahan PT Garam, karena tanah ini memang punya leluhur kami yang dipinjam pakai oleh Bupati Sumenep saat itu. Dan saat ini sudah selesai pinjam pakainya," tegas Sekretaris Yayasan Tanah Leluhur (YTL), Masrawi dihadapan ribuan petani garam, 30 Agustus 1998 lalu.


Teriakan Masrawi saat itu seakan menjadi sugesti ribuan petani garam yang tergabung dalam YTL untuk berjuang merebut kembali lahan pegaraman milik nenek moyangnya yang telah 50 tahun dipakai PT Garam. Mulai saat itu pula, organisasi yang dipimpin almarhum Hosen Arsidik itu aktif melakukan pendekatan ke pemerintah.


Upaya mendapatkan kembali sekitar 5.000 hektare lahan pegaraman PT Garam itu sesuai akte kesepakatan antara petani garam Desa Pinggir Papas dan Karang Anyar, Kecamatan Kalianget, Sumenep. Kesepakatan pada 3 Agustus 1936 itu hanya menyewakan lahan selama 50 tahun kepada PT Garam yang saat itu bernama Perusahaan Negara (PN) Garam.


Karena itu, seharusnya tanah yang sebagian besar berada di Desa Karang Anyar dan Pinggir Papas itu seharusnya sudah dikembalikan lagi kepada rakyat tanggal 7 Agustus 1986.


Menurut Masrawi, dalam perjanjian 3 Agustus 1936 itu, Kepala Desa Karang Anyar, Sastro Wijoyo dan Kepala Desa Pinggir Papas, Sastro Sudirso menyerahkan lahan pegaraman kepada Bupati Sumenep saat itu Raden Panji Samadikoen. Lahan itu rencananya akan dijadikan sebagai lahan pegaraman oleh pemerintah sebagai tempat produksi garam.


Lahan pegaraman rakyat itu dikelola perusahaan nasional milik pemerintah yang saat itu disebut PN Garam, dan pekerjanya akan melibatkan rakyat eks pemilik lahan. Lahan tanah pegaraman itu dijanjikan akan dikembalikan kepada rakyat setelah 50 tahun, atau setelah lahan pegaraman itu siap dikelola oleh masyarakat.


Namun, kenyataannya hingga batas waktu yang tertera dalam perjanjian itu, lahan pegaraman tidak pernah dikembalikan. Bahkan tanpa sepengetahuan eks pemilik, lahan pegaraman itu telah disertifikatkan oleh PN Garam sebagai aset miliknya serta menolak akte perjanjian yang tertulis dalam tulisan dengan huruf Jawa.


"Siapapun mengakui, kalau akte perjanjian antara pemerintah zaman dulu dengan rakyat sah dan asli. Jadi, perjuangan untuk merebut kembali lahan milik leluhurnya sangat tepat," tegas Masrawi.


Selain Yayasan Tanah Leluhur (YTL), Yayasan Al-Jihad juga mengaku punya hak dalam merebut kembali lahan yang saat ini dikuasai PT Garam. Yayasan Al-Jihad merupakan kumpulan petani garam yang pada tahun 1975 lalu lahan pegaraman miliknya dibebaskan oleh PT Garam untuk kepentingan modernisasi produksi garam di Sumenep. Saat itu lahan milik warga dibeli dengan harga antara Rp 1 - Rp 2 juta/hektare.


"Kami adalah keluarga pemilik lahan yang tahun 1975 lalu dibebaskan paksa oleh pemerintah untuk kepentingan modernisasi. Pada saat itu kami tidak bisa berkutik, karena saat itu rezim Orde Baru masih sangat kuat," ujar Ketua Yayasan Al-Jihad, Imam Sutardjo.


Namun, petani garam khususnya yang tergabung dalam Yayasan Al-Jihad kemudian menyadari, ternyata rencana modernisasi pegaraman tidak pernah terwujud. Tanah pegaraman seluas 982 hektare yang sebelumnya menjadi milik sekitar 800 orang petani hanya digunakan untuk proses pembuatan garam secara tradisional.


Dikatakan, sejak pembebasan lahan pegaraman oleh PT Garam, perekonomian masyarakat eks pemilik tanah hancur. Mereka yang sebelumnya banyak menggantungkan hidupnya lewat pegaraman akhirnya hidupnya terpuruk. Pengangguran merajalela, bahkan banyak anak-anak putus sekolah karena tidak ada biaya lagi. "Yang lebih menyakitkan lagi, sejak saat itu eks pemilik lahan hanya menjadi buruh penggarap dan buruh angkut hasil garam PT Garam," ungkap Imam Sutarjo.


Akumulasi masalah yang dihadapi masyarakat petani garam Sumenep itu kemudian menumbuhkan keinginan untuk merebut kembali lahan yang sebelumnya diakui miliknya. Kondisi itu mencapai puncaknya pascareformasi akhir 1998 dan awal 1999. Berbagai aksi dilakukan untuk menekan pemerintah (PT Garam) mengembalikan lahan yang diakui menjadi milik petani.


Jatuh bangun perjuangan petani garam baik yang dilakukan Yayasan Al-Jihad maupun YTL seakan tak pernah padam. Hingga akhirnya Al-Jihad mendapatkan pintu masuk dengan mendapatkan hak garap di lahan milik PT Garam tahun 2000 sekitar 200 hektare.


Lahan PT Garam yang diberikan kepada Yayasan Al-Jihad khususnya lahan yang kurang produktif dengan catatan lahan itu bukan dikembalikan, tetapi diberikan hak garap saja. Hal itu juga sesuai SK Nomor 1222 tahun 1975 yang mengamanatkan selama modernisasi pegaraman belum dilaksanakan, petani pemilik tanah diperbolehkan menggarap lahannya.


Keberhasilan perjuangan Yayasan Al-Jihad semakin mendorong YTL berjuang mendapatkan haknya. Hanya saja upaya YTL yang telah berulangkali unjuk rasa tidak digubris PT Garam. Akibatnya, massa YTL beberapa kali melakukan tindakan anarkis menghadang pegawai PT Garam yang akan masuk kantor serta menggarap paksa sejumlah lahan milik PT Garam.


Akhirnya tahun 2002, YTL mendapat hak garap lahan milik PT Garam di musim penghujan saja. Petani garam yang tergabung dalam YTL diperbolehkan mempergunakan lahan PT Garam di waktu musim hujan untuk tambak udang atau bandeng. Hanya saja, ketika memasuki musim garam, harus diserahkan lagi ke PT Garam.


Perjuangan untuk mendapatkan hak garap itu tidak pernah surut. Selain unjuk rasa, YTL juga melakukan lobi-lobi dan pendekatan kepada Pemkab Sumenep, Pemprov Jatim hingga pemerintah pusat, termasuk menyampaikan aspirasi ke DPRD hingga DPR RI di Jakarta.


Perjalanan panjang itu akhirnya membuahkan hasil. Karena pada 27 September 2006 lalu petani garam memperoleh angin segar setelah Komisi II DPR memberikan sinyal ada kerjasama sinergi yang saling menguntungkan antara PT Garam (Persero) dan petani garam.


Dengar pendapat Komisi II DPR dipimpin Priyo Budi Santoso (F-PG) dengan Timja Pertanahan Komisi II, Sekretaris Provinsi Jawa Timur, Deputi BUMN Jawa Timur, Direktur PT Garam dan petani garam yang bertempat di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta.


Dalam dengar pendapat itu diputuskan petani garam akan dilibatkan atau diberikan hak sebagai penggarap lahan dengan memproduksi garam. Sedangkan PT Garam sebagai pemilik lahan memberikan bimbingan teknis terhadap kualitas dan kuantitas produksi garam.


Untuk mempermudah penyelesaian itu, Komisi II meminta kepada Pemprov Jatim bersama-sama dengan pemkab dan Deputi Bidang Usaha Jasa Kementerian BUMN sesuai dengan kewenangan masing-masing berperan aktif dalam mewujudkan skema kerjasama yang sinergi.


"Kerjasama penyelesaian itu diharapkan paling lambat 31 Maret 2007," ujar Masrawi, Ketua YTL yang hadir dalam pertemuan itu. Namun hingga 3 April 2007 kerjasama itu masih belum terwujud
karena ada beberapa penafsiran hasil kesepakatan yang berbeda dari PT Garam dan YTL.


Menguntungkan Semua Pihak


Bupati Sumenep, KH Moh Ramdlan Siraj SE MM, mengaku tetap berkomitmen untuk menyelesaikan kasus sengketa lahan pegaraman antara petani yang diwakili yayasan dengan PT Garam. Bupati Ramdlan yang mengaku tidak diundang dalam pertemuan penyelesaian sengketa lahan pegaraman di Pemprov Jatim, juga berjanji akan bekerjasama dengan tiga bupati lainnya yakni Pamekasan dan Sampang.


"Itu tujuan kami, supaya persoalan antara petani dan PT Garam selesai. Sehingga tidak ada riak-riak lagi yang bisa menghalangi proses penyelesaian ini," tandas Ramdlan.


Menurutnya, proses penyelesaian itu harus dilakukan sesuai acuan dari rekomendasi Komisi II DPR RI, bahwa yang memfasilitasi penyelesaian adalah pemprov bersama-sama dengan Pemkab Sumenep, Sampang dan Pamekasan. "Bukan hanya pemkab sendiri, tetapi semua pihak yang disebutkan dalam rekomendasi itu," tegasnya.


Ramdlan berharap menyusul hasil rekomendasi itu, semua pihak berlapang dada, karena hasil itu menjadi amanat dan keputusan terbaik yang menguntungkan semua pihak. Karena itu, Bupati Ramdlan tak ingin melihat petani garam justru dijadikan alat untuk mencari keuntungan dibalik sengketa lahan pegaraman. (st2)


Sumber: Surya, 03/04/2007


Baca juga:

  • Tolak Melibatkan Yayasan