Globalisasi Versus Gombalisasi Budaya Madura
Tanggal 09-11 Maret lalu, tokoh-tokoh Madura hadir pada sebuah acara akbar bertajuk Kongres Kebudayaan Madura (KKM). Sebuah manual yang digelar atas nama keprihatinan terhadap kebudayaan Madura yang akhir-akhir ini mulai tergerus modernitas. Dalam hal ini, budaya Madura terkesan mudah berubah (bahkan lenyap) manakala generasi Madura sendiri tidak mempunyai perhatian serius terhadap kebudayaan Madura yang diwariskan para leluhur.
KKM, hadir sebagai langkah awal untuk mentradisikan kebudayaan lokal yang mulai tergerus. Mohammad Suhaidi RB (Radar Madura, Minggu, 28/1) dalam tulisannya Menyongsong Masa Depan Peradaban, berusaha mempertegas bahwa ketergerusan budaya lokal benar-benar hadir dan lahir di tanah ini.
Kekayaan budaya yang telah lama bernafas di Madura, pada dasarnya merupakan keniscayaan yang perlu kita dipikirkan. Sebab, budaya merupakan kekayaan etnik yang tidak bisa kita diperjualbelikan. Sedang kebudayaan, hasil cipta-karya yang lahir dari pertautan nenek moyang. Kebudayaan, juga merupakan salah satu ikon sentral untuk memperkenalkan ciri, warna dan karakteristik warga Madura. Sehingga pelestarian nilai-nilai kebudayaan di Pulau Garam ini merupakan sebuah kewajiban mutlak. Sejenis kewajiban yang tidak lahir dari rasa keterpaksaan. Tetapi melestarikan budaya harus benar-benar timbul dari lubuk hati. Jika muncul stereotipe dan "mengganggu" arus kebudayaan Madura, tak ada yang "lari". Melainkan, bertanggungjawab dengan cara merawat dan melestarikan budaya nenek moyangnya.
Tawaran penyelamatan budaya seperti yang dicetuskan beberapa tokoh Madura dalam KKM, penting digarisbawahi. Mengingat kerja aktif globalisasi yang akan memunculkan paradigma baru dan warna lain tentang kebudayaan Madura. Di sinilah ancaman bagi otensitas budaya Madura.
Globalisasi, merupakan racun terselubung yang dapat menghilangkan esensial kebudayaan. Pada akhirnya mengakibatkan budaya lokal mengalami pembaruan yang cukup tragis. Maka jika hal ini dibiarkan begitu saja, akan muncul Madura baru dengan spirit perubahan terutama di sektor budaya, meminjam istilah Mohammad Suhaidi RB.
Lalu, bagaimana untuk mencari jalan keluar dalam menawar ancaman globalisasi mengingat globalisasi akhir-akhir ini telah menyetir akulturasi Madura sedemikian parah. Bahkan, memoles budaya Madura dengan lipstik tebal beraroma kontemporer dalam artian kehadiran globalisasi yang datang tanpa undangan, telah mendarah daging dan sulit ditepis akibat tuntutan zaman dan kemajuan IPTEK yang semakin kompleks. Hatta pada akhirnya, kedatangan globalisasi merupakan persoalan krusial yang tidak bisa dielakkan dari panorama kehidupan, lebih-lebih dalam hal kebudayaan.
Secara subtansial, kehadiran globalisasi penting untuk kita telaah bersama. Sebab globalisasi tidak sepenuhnya memunculkan spirit baru yang akan merubah secara total kemurnian khasanah kebudayaan Madura. Akan tetapi, penting diketahui bahwa globalisasi juga mengandung sejuta materi tentang siasat bagaimana membangun budaya ke arah masa depan. Karena untuk saat ini, melestarikan budaya di tingkat lokal yang tetap berdasarkan kepada "leluhur" secara keseluruhan rasa-rasanya tidak memungkinkan. Sebab madura, akan mempunyai jembatan Suramadu yang dijadwalkan selesai tahun 2010. Maka, sudah dapat dipastikan akan membwa banyak perubahan dalam segala bidang.
Dalam mentradisikan nilai-nilai kebudayaan, tak harus terfokus pada kejumudan nilai-nilai lokal. Akan tetapi orang Madura harus mampu membaca situasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Globalisasi (mungkin) perlahan dan pasti dapat mengubah paradigma khazanah kebudayaan Madura. Walau bagaimana pun, globalisasi tetap menjadi ancaman berat bagi keberlangsungan Madura yang mendatang.
Untuk itu, setidaknya kita harus mampu mencari solusi altematif yang lebih konkrit. Yaitu dengan membawa budaya lokal ke ruanglingkup global. Seperti pepatah, untuk bisa memasuki lubang buaya maka terlebih dahulu harus berubah wujud menjadi seekor buaya. Di sinilah sebenamya jalan pintas yang harus kita tempuh. Budaya Madura harus tampil fleksibel di ruang globalisasi. Dengan berlandaskan pada kaidah berwajah global namun tetap berhati lokal. Ini, agar kebudayaan lokal Madura menjadi teman akrab globalisasi, mengikuti apa saja yang menjadi kerja aktifnya namun tetap menjunjung nilai-nilai lokal sebagai bagian dari siasat pelestarian budaya yang lebih praktis.
Uraian di atas penting diterapkan dalam rangka membawa budaya Madura ke arah masa depan. Karena melestarikan budaya dengan metode klasik (waris-mewarisi) merupakan bentuk pelestarian yang terkesan primitif. Ketika dihadapkan pada era global, kebudayaan akan terpojokkan bukan karena tidak ada yang peduli melainkan terpojokkan akibat kalah bersaing.
Kebudayaan Madura yang berada di tengah-tengah kita harus dijaga utuh. Melalui penempatan budaya lokal pada global dengan catatan tidak meninggalkan nilai-nilai lokal yang telah menjadi ikon Madura sebagaimana qaidah al muhafazhah ala al qadim al shaleh wa al akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara budaya lama yang baik dan mengambil budaya yang baru yang lebih baik dan bermanfa’at) seperti yang ditulis KH Idris Djauhari di koran ini (Minggu, 1/4) lalu.
Maka, aspek al ashlah harus dipegang erat sebagai acuan dan referensi pengembangan budaya Madura selanjutnya. Sehingga, budaya Madura selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman dengan berwawasan global namun bercirikan lokal. Sehingga kita harus menjunjung tinggi kebudayaan Madura agar tetap shalihun fi kulli zamanin wamakanin, selalu kontekstual! (Fathorrahman Hasbul)
Penulis: pemerhali pendidikan dan kebudayaan, penggiat pers pesantren di Sumenep
Sumber: Jawa Pos, 15 Apr 2007
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home