Sunday, April 08, 2007

Berawal dari Legenda

Oleh: Fabiola Ponto


Sang surya belum lagi mencurahkan sinarnya. Hanya embusan angin mengiringi tapak-tapak menembus gelap yang sunyi. Hingga jejak-jejak kaki itu mencapai tepian menuju laut dan berhenti.


Suasana berubah menjadi ingar-bingar. Para perempuan Desa Telaga Biru mengantar suami mereka masing-masing untuk melaut. Laut sudah bersahabat, berarti tiba waktunya untuk kembali ke sana dan mencari ikan untuk menafkahi keluarga.
Sementara menunggu suami pulang ke rumah, para istri melanjutkan aktivitas sehari-hari. Seperti berbelanja dan memasak, mengurus segala keperluan rumah tangga, juga anak. Malam harinya mereka mulai menyalurkan keterampilan dengan membatik.


Entah benar atau tidak, kisah tersebut melatarbelakangi industri batik Tanjung Bumi di Bangkalan, Madura. Membatik sudah menjadi mata pencaharian utama sampai sekarang.
Beberapa industri yang tergolong besar menampung hasil kreasi para perajin batik di desa tersebut. Sekurang-kurangnya ada industri kecil "Batik Tulis Annis" dan "Puteri Madura". Sisanya merupakan perajin batik rumahan dan tukang warna.


Membatik di sana rupanya sudah menjadi pekerjaan turun-temurun. Seperti dituturkan Hj Toyibah (53). Seperampat abad lebih dia menekuni usaha membatik yang kini menopang kehidupan seluruh keluarga. "Saya sudah membatik sejak masih di sekolah dasar (SD), belajar dari orangtua," ujarnya, Jumat (30/3).


Dengan empat pegawai yang menangani batik cetak dan hampir 100 perajin yang mengerjakan batik tulis, "Batik Tulis Annis" mengerjakan batik sesuai pesanan. Satu stel batik paling murah dihargai Rp 500.000. Harga itu berlaku untuk batik berbahan katun dan hasil cetak. "Kalau kain sutra dan batik tulis, harganya bisa sampai Rp 2 juta," kata Toyibah.


Tingginya harga batik tulis, kata ibu tiga putra itu, karena proses yang cukup rumit. Satu stel batik memerlukan waktu hingga berbulan-bulan untuk selesai karena dengan motif berbahan alam, kain perlu direndam sampai satu bulan agar hasilnya maksimal.


Motif dan warna menjadi ciri khas tersendiri. Umumnya motif batik Tanjung Bumi bersentuhan dengan alam, yaitu burung, bunga, atau daun. Semuanya itu digambarkan dengan indah dan berpadu kombinasi warna merah dan hitam. "Batik ini biasanya memang berwarna merah dan hitam, tapi banyak juga warna lain," ujar Hendy Muarif (20), pemilik "Puteri Madura".


Kini Hendy menangani bisnis orangtuanya. Di sana mereka bukan hanya melayani pesanan batik tulis dan batik cetak, tetapi juga menyediakan bahan mentah. "Ada cat, canting, juga obat-obatannya," tuturnya.


Walaupun batik menjadi legenda di sana, sang ibu belajar membatik di Solo saat memutuskan menekuni usaha batik. Membatik menjadi mata pencaharian karena sang ayah tidak lagi menjadi nelayan.


Batik Tanjung Bumi sudah banyak dikenal. Namun, kondisi perekonomian tidak pandang bulu. Beberapa perajin kecil yang mencoba memasarkan sendiri tidak bertahan lama. Seperti kata Toyibah, perajin batik memerlukan dukungan pemerintah agar pembeli asing mau datang lagi dan menjadi pelanggan tetap.


Sumber: Kompas, 04/04/07


Baca juga:
Hj Kulsum Memilih Mewarnai Batik


halaman depan

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home