Thursday, April 19, 2007

Hak Garap Hanya 10 Hektare

Bakorwil Usulkan Solusi Adat


Sumenep, Jawa Pos - Upaya mediasi yang dilakukan Bakorwil IV Madura atas munculnya rekomendasi Komisi II DPR RI tertanggal 27 September 2006 lalu, ternyata belum selesai. Rencananya, dalam waktu dekat, bakorwil menggelar pertemuan kembali untuk membahas dan menuntaskan realisasi dari poin-poin rekomendasi Komisi II. Utamanya, pada poin petani garam dilibatkan atau diberikan hak garap untuk memproduksi garam.


Kepala Bakorwil IV Madura H Makmun Dasuki menjelaskan, pihaknya memang diberi mandat oleh Gubernur Jatim H Imam Utomo agar menggelar pertemuan dengan Pemkab se Madura (kecuali Bangkalan), PT Garam, dan petani garam untuk membahas realisasi dari rekomendasi dari Komisi II DPR RI. "Awal Maret lalu, kita telah duduk bersama. Tapi, pertemuan itu memang belum membuahkan hasil," terangnya di Sumenep, kemarin.


Dalam pertemuan di awal Maret itu, ungkap Makmun, PT Garam ternyata hanya akan memberikan "secuil" lahan pegaraman untuk digarap oleh petani garam se Madura. Rinciannya, hak garap bagi petani di Sumenep hanya seluas 10 hektare, 78 hektare di Pamekasan, dan 48 hektare di Sampang.


"PT Garam secara prinsip agak keberatan menyerahkan lahan pegaramannya untuk digarap para petani," tukasnya.


Makmun juga mengungkapkan, pihaknya sebenarnya mengusulkan sebuah solusi yang lebih bernuansa adat. Yakni, pengelolaan lahan pegaraman milik PT Garam menggunakan sistem paron dan pertelon (Madura, Red) alias bagi hasil. "Kalau paron, petani yang menggarap termasuk membiayai proses produksi garam dan hasilnya dibagi 2 dengan PT Garam. Saya menilai ini win-win solution," paparnya.


Sedang dengan sistem pertelon, lanjutnya, PT Garam yang membiayai proses produksi dan petani hanya menggarap. Lalu, sepertiga dari produksi garam menjadi jatah petani. "Selama mekanisme adat yang digunakan untuk pengelolaan lahan pegaraman ini, PT Garam tetap punya kewajiban menampung produksi garam dengan harga sesuai mekanisme pasar. Tapi, usulan ini belum disetujui oleh manajemen PT Garam," urainya.


Menurut Makmun, usulan dengan mekanisme adat yang dilontarkannya dalam pertemuan itu, sama-sama menguntungkan. Petani bisa all out menggarap lahan pegaraman. Sedang PT Garam tak akan kehilangan fungsi untuk ikut memproduksi garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional.


"Dalam pertemuan kali pertama itu, PT Garam menyatakan pikir-pikir dulu atas usulan ini. Sedang petani menyetujuinya," terangnya.


Kapan dilakukan pertemuan lagi? Makmun bilang, pihaknya tetap harus melakukan koordinasi dulu dengan Pemprov Jatim sebelum menggelar pertemuan kali kedua. Diharapkan, PT Garam maupun petani bisa bersikap lebih tenang dalam proses pembahasan realisasi rekomendasi Komisi II DPR.


"Secepatnya akan kita gelar pertemuan lagi. Kita ingin ini cepat selesai. Sehingga, tak ada lagi polemik lahan pegaraman," pungkasnya.


Sekadar mengingatkan, pada 27 September 2006 lalu, Komisi II DPR RI mempertemukan petani garam dengan PT Garam dalam sebuah rapat dengar pendapat (RDP). Hasil dari RDP itu menyimpulkan sejumlah poin penting sebagai upaya penyelesaian masalah pegaraman di Madura. Antara lain, Komisi II DPR RI mendorong terwujudnya skema kerjasama yang sinergi dan menguntungkan antara petani garam dengan PT Garam.


Lalu, petani garam dilibatkan atau diberikan hak garap sebagai penggarap lahan pegaraman dengan memproduksi garam. Sedang PT Garam sebagai pemilik lahan memberikan bimbingan teknis terhadap kualitas dan kuantitas produksi garam nasional. Untuk mewujudkan kerjasama itu, Komisi II DPR RI meminta Pemprov Jatim bersama Pemkab Sumenep, Pemekasan, dan Sampang memfasilitasi pelaksanaan musyawarah. (yat)


Sumber: Jawa Pos, 18 Apr 2007

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home