Pementasan Drama Babat Tanah Sampang
Rato Èbhu Tak Tega Ratusan Wanita Madura Jadi Janda
Drama kolosal yang menceritalan suasana Madura pada abad XVI, dimainkan dengan penuh ekspresi oleh anak-anak Damrio Teater, Sekar Poteh Teater, Nina Bobok Teater, dan Blossom Art Community SMAN 1 Sampang. Mereka mampu memainkan konsep teater tradisi semi ketoprak ala Bahasa Madura. Bagaimana jalan ceritanya?
"Akeh ingkang goro-goro, udan salah amangsa prapti. Akeh lindu lan grahana, dalajate salin-salin. Pepati tanpa aji." Secuil puisi Jawa (sinom, Red) ini terdengar merdu dikidungkan oleh sutradara drama kolosal Babat Tanah Sampang, Untung Rifa’i. Drama ini dipentaskan dalam acara pamungkas peringatan Hari Jadi Kabupaten Sampang ke 383 tahun ini kemairn malam yang dipusatkan di alun-alun Wijaya Kusuma Kota Sampang.
Drama ini menyuguhkan cuplikan penyerangan Sultan Agung dari Kejaraan Mataram ke Kerajaan Blega, Kerajaan Pamekasan, Kerajaan Songenep, dan Kerajaan Arosbaya yang berkedudukan di Kampung Madegan Kelurahan Polagan, Kota Sampang.
Tujuan Sultan Agung menyerang kerajaan-kerajaan Madura saat itu, untuk melemahkan strategi VOC atau penjajah Belanda yang sudah menguasai Nusantara. Tapi, pada akhirnya, strategi tersebut justru menimbulkan bencana bagi rakyat Madura.
"Dinda...! Bara api di dadaku sulit dipadamkan. Dendam kesumatku pada londo-londo anjing VOC sulit kukendalikan," ujar Sultan Agung yang diperankan oleh Salas Auladi, siswa kelas 11 IPA 5 SMAN 1 Sampang ini penuh penjiwaan.
Setelah pertempuran usai, satu-satunya keturunan bangsawan kerajaan Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno. Di kemudian hari, Raden Praseno yang menjadi tawanan perang ini, dinobatkan oleh Sultan Agung menjadi Raja Madura Barat yang bergelar Pangeran Cakraningrat I.
Lakon drama ini hanya menceritakan cuplikan penyerangan prajurit Mataram ke Kerajaan Arosbaya yang diakhiri dengan ending penculikan Raden Praseno oleh prajurit Mataram.
Saat penculikan terjadi, ibunda Raden Praseno, Rato Èbhu, yang diperankan oleh Halimatus Sa’diyah berteriak histeris sambil menangis sesunggukan. Rato Èbhu sangat bersedih karena kehilangan anak dan suaminya, Pangeran Tengah, yang juga Raja Arosbaya.
Rato Èbhu ternyata tidak tega melihat ratusan wanita-wanita Madura menjadi janda, karena kehilangan suaminya. Sebab, akibat penyerangan prajurit Mataram tersebut, banyak anak-anak Madura yang menjadi yatim.
"Anakkuuuu… Raden Praseno!. Tolong jangan sakiti anakku… Kembalikan anakku!. Ètembâng potè mata, ango'an potè tolang," teriak siswi kelas 12 IPA 1 SMAN 1 Torjun ini histeris.
Alur cerita drama kolosal Babat Tanah Sampang ini sangat komunikatif dengan penonton. Buktinya, saat pemeran Rato Èbhu dan wanita-wanita Madura menangis penuh traumatis, banyak ibu-ibu terbawa emosi dan ikut-kutan menangis meneteskan air mata.
Menurut sutradara Babat Tanah Sampang Untung Rifi’i, pagelaran drama ini bertujuan untuk memberikan apresiasi bagi generasi muda Sampang agar mempunyai sikap progresif terhadap kondisi yang terjadi di Kabupaten Sampang. Khususnya, di bidang seni dan budaya yang bermuatan local genius Madura.
"Seni budaya Madura sangat kaya akan nilai-nilai budi pekerti dan spiritual. Karena itu, akar budaya bangsa ini wajib dipelihara dan dilindungi dalam konteks edukasi masyarakat Madani," imbau Konselor Traumatik dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR) Kabupaten Sampang ini. (TAUFIQ RIZQON)
Sumber: Jawa Pos, 09/04/2007
1 Comments:
Wah saia baru tau kalo ada posting an ini...jadi terkenang masa lalu..
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home