Tuesday, June 19, 2007

Akulturasi pada Keraton Sumenep dan Masjid Jamik di Madura

Bila sejenak menyeberang ke Pulau Madura, 90 kilometer dari Pelabuhan Bangkalan, kita akan menjumpai kota yang terkenal dengan julukannya ”Putri Koneng” atau Sumenep.
Pada abad ke-12, di Sumenep berdiri kerajaan dan baru pada tahun 1762 Pangeran Notokusumo atau Panembahan Sumolo mendirikan keraton dengan arsiteknya Liaw Piau Ngo.
Karena kekaguman raja terhadap desain Liaw Piau Ngo, beliau meminta untuk dibangunkan masjid tepat di depan keraton pada tahun 1771. Masjid itu kini dikenal dengan nama Masjid Jamik Sumenep.


oleh: Lilianny S Arifin


Keraton ini pernah dipugar pada tahun 1975 dan sampai sekarang menjadi obyek pariwisata yang sangat bersejarah di Madura. Di sana kita dapat mempelajari nilai-nilai akulturasi yang terjadi lebih dari 200 tahun lalu.


Bila berkunjung ke keraton ini, kita akan disambut gerbang labang mesem. Gerbang ini dari depan tampak bersusun tiga. Lantai dua berfungsi sebagai tempat prajurit penjaga keamanan dan lantai tiga berisi lonceng yang akan dibunyikan bila ada tamu datang, sebagai tanda bagi para penjaga keraton di dalam bahwa ada tamu datang.
Mirip dengan keraton di Jawa Tengah, Keraton Sumenep mempunyai pendopo yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan upacara adat. Dari halaman yang luas tampak bangunan pendopo berkesan kokoh, tetapi ramah. Di bagian atap dapat kita temukan detail nuansa atap kelenteng China, sedangkan kolom-kolomnya terlihat kokoh seperti bangunan zaman kolonial yang mempunyai ketebalan satu setengah bata.


Pada bagian dalam, langit-langit tertutup dengan papan-papan kayu yang sangat rapi dicat warna kuning. Menurut penjaga keraton, warna kuning tetap dipertahankan karena melambangkan kekuningan warna kulit permaisuri Ratu Ayu Tirto Negoro yang lebih dikenal dengan nama Putri Koneng (kuning). Dia adalah putri dari kerajaan di China.
Klungkungan menghubungkan ruang pendopo dengan bagian dalam keraton. Ruang berbentuk lorong terbuka ini didukung kolom-kolom berukuran 40 x 40 cm dari batu bata. Bagian dalam keraton adalah tempat raja serta keluarganya bersemayam dan serambi kanan-kiri tempat para pembantu rumah tangga tinggal.


Bila menengok kamar tidur raja, kita dapat menemukan ranjang yang masih asli dengan bentuk ukiran mirip batik pekalongan bermotif paduan antara gambar burung dan bunga. Warna yang cerah didominasi merah dan kuning. Di bagian timur pendopo ada kolam keputren, mirip Taman Sari di Keraton Yogyakarta dan fungsinya sama, yaitu untuk mandi para putri raja.


Di bagian kiri gapura ada bangunan yang disebut kantor koneng, merupakan tempat kerja Ratu Ayu Tirto Negoro, dan sekarang dijadikan museum alat-alat rumah tangga. Banyak koleksi keramik Cina yang boleh dibeli dengan harga relatif murah dibandingkan dengan usianya.


Masjid Jamik


Dari keraton kita dapat melayangkan pandangan ke Masjid Jamik. Sekilas kita menemukan kesan sebuah bangunan Eropa dengan warna kuning menyala di sana. Namun, bila kita tatap ujung paling atas bangunan, kembali kita menemukan bentukan yang mempunyai corak arsitektur kelenteng. Pada bagian ujung atap ditarik melengkung sedikit ke dalam.


Proses akulturasi juga terlihat pada bagaimana kolom-kolom dengan bentuk busur gaya Eropa dipadu dengan bentuk memolo atau mahkota gaya China. Bila masuk ke dalam masjid itu, kita akan menjumpai lukisan-lukisan mosaik pengaruh Arab.


Warna emas mencerminkan suatu kebesaran, keagungan, dan juga berhubungan dengan martabat seseorang. Hal ini dapat dihubungkan dengan budaya kaum Madura yang sangat bangga bila mereka dapat memakai perhiasan besar dari emas.


Dari dua karya arsitektur di atas, kita dapat belajar nilai akulturasi yang menyimpan makna sebagai perpaduan dari dua kebudayaan atau lebih. Perpaduan kebudayaan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk saling menumbuhkan toleransi, bukan untuk saling mendominasi, dan akhirnya melebur menjadi satu.


Proses akulturasi antara kebudayaan di Indonesia dan kebudayaan Eropa sudah dimulai ketika kapal-kapal Portugis tiba di Maluku dan di Nusa Tenggara awal abad ke-16 (Koentjaraningrat 1996). Demikian juga ketika bangsa-bangsa dari negeri China melakukan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.


Salah satu produk hasil akulturasi adalah karya arsitektur. Beberapa karya arsitektur merupakan hasil penghayatan suatu agama, dapat digunakan sebagai alat pendidikan yang mudah dicerna siswa. Pemahaman bentuk dengan memahami sejarahnya akan membawa kita pada cakrawala baru untuk memahami arti perbedaan dan sebab dari perbedaan sehingga siswa belajar bertoleransi dan tanggap terhadap perbedaan tanpa merasa dikecilkan artinya atau merasa ditinggikan.


Dari kedua karya arsitektur di Sumenep ini, kita belajar adanya proses akulturasi budaya lewat karya sehingga kita bukan saja melihat indahnya perpaduan karya arsitektur, tetapi juga dapat belajar makna toleransi dalam akulturasi.


Lilianny S Arifin, Laboratorium Sejarah & Teori Arsitektur, Universitas Kristen Petra


Sumber: Kompas, Minggu, 05 Februari 2006