Saturday, May 26, 2007

Nelayan Tamba’an Saat Gelombang Pasang

Tak Melaut, Tangkap Ikan dengan Jaring Krakat di Pantai

Para nelayan Desa Tamba’an Pesisir, Kecamatan Camplong, dikenal sebagai masyarakat pelaut pantang menyerah, juga kreatif. Saat gelombang pasang dan membuat puluhan nelayan tak bekerja, mereka tetap membanting tulang untuk mencari demi menafkahi keluarganya. Apa yang dilakukan?

Suasana di bibir pantai Desa Tamba’an kemarin pagi sepi tidak seramai hari-hari biasanya. Rombongan nelayan yang biasanya hilir mudik melaut, kini tidak dijumpai. Kalau pun ada, bukanlah nelayan yang hendak melaut. Tapi, mereka nelayan pencari ikan yang terjerat jaring krakat.

Pemandangan ini sudah berlangsung sejak 4 hari lalu. Nelayan setempat memilih tak melaut, bukannya karena malas. Tapi semata-mata karena khawatir perahunya menjadi sasaran amukan gelombang pasang. Juga khawatir ganasnya gelombang tersebut mengancam keselamatan jiwanya saat melaut.

Ketika gelisah tidak bisa menafkahi istri dan anak-anak karena tidak bisa melaut, para nelayan Tamba’an pun memutar otak untuk bisa menangkap ikan. Caranya, dengan menebar jaring krakat penangkap ikan mulai dari bibir Pantai Camplong hingga ke tengah laut.

Usai menebar jaring krakat sepanjang 60 meter tersebut, nelayan yang lain kemudian membantu menancapkan kayu runcing di pinggir pantai. Begitu juga nelayan yang ada di tengah laut, ikut menancapkan kayu runcing. Setelah itu, mereka merapat ke bibir pantai menuju ke gasebo guna berteduh.

"Dibandingkan dengan aktifitas kami sebelumnya, hasil tangkapan ikan dengan jaring ini memang tidak seberapa, Pak. Tapi, paling tidak, kami masih mempunyai harapan bisa menafkahi istri dan anak-anak," ujar salah seorang nelayan setempat, Supriyadi, sambil mengusap keringat yang mengucur di keningnya.

Akibat gelombang pasang tersebut, menurut Supriyadi, puluhan nelayan Camplong memilih tidak melaut dan memarkir perahunya. Sebab, mereka khawatir pasangnya air laut tersebut mengancam keselamatan jiwa mereka saat melaut. "Kami juga tidak ingin mengalami nasib seperti yang dialami nelayan Pacitan dan Bantul, Jogjakarta," ungkapnya mencoba menjelaskan alasan para nelayan tidak melaut.

Saat ini nelayan hanya bisa pasrah. Tapi, mau tidak mau, mereka harus tetap bekerja agar dapur bisa tetap negbul. "Karena tidak melaut, kami terpaksa menjaring ikan di tepi pantai," katanya.

Dari hasil menangkap ikan dengan jaring krakat tersebut, Supriyadi yang kemarin dibantu bapak mertua dan saudara iparnya itu, sehari bisa mendapatkan ikan minimal 60 ekor. Ikan-ikan tersebut diduga berasal dari ikan tambak petani yang terbawa arus setelah tanggul tambaknya jebol diterjang gelombang air laut.

"Sebagian besar, ikan-ikan yang terjebak dalam jaring kami adalah ikan bandeng dan mujair. Ukurannya lumayan besar lho Pak," kata bapak 1 putra ini sambil menunjukkan ikan hasil tangkapannya.

Nah, setelah mengumpulkan ikan tangkapan tersebut, Qomariyah, istri Supriyadi, kebagian tugas menyimpan ikan ke dalam boks yang sudah dipasangi balok es. Beberapa saat lamanya, ikan-ikan tersebut disimpan di dalam rumah. "Kalau ada pemesan, ikan tersebut kami jual seharga Rp 1.000 per ekor," kata Qomariyah.

Meskipun sudah mendapat penghasilan dari menangkap ikan dengan krakat, Supriyadi berharap musibah gelombang pasang tersebut segera berakhir. Dia ingin segera melaut lagi. Sebab, uang hasil penjualan ikan-ikan tersebut dirasa belum cukup guna memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Apalagi, putra semata wayangnya, Wildan, sesaat lagi akan sekolah.

"Bukannya tidak mau mensyukuri nikmat dan karunia Tuhan. Tapi, penghasilan saat ini menurun drastis. Karena itu, kami berharap semoga musibah gelombang pasang ini segera berakhir. Sehingga, kami bisa melaut kembali," harapnya.

Harapan yang sama juga disampaikan nelayan yang lain, Ahmad. Menurut dia, selain akan mempengaruhi penghasilan masyarakat nelayan, peristiwa gelombang pasang tersebut dikhawatirkan bisa menyisakan dampak psikologi bagi warga pesisir. "Sebab, warga di sini trauma dan khawatir gelombang pasang tersebut berubah menjadi tsunami," ujarnya. (TAUFIQ RIZQON)

Sumber: Jawa Pos, 21/05/2007