Friday, June 01, 2007

Ribuan Pengungsi Sampit Masih Telantar

Nasib ribuan pengungsi asal Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah (Kalteng), yang masih tinggal di Sampang, kini semakin memprihatinkan. Hidup mereka luntang-lantung, tidak punya pekerjaan tetap sejak Februari 2001 lalu. Mereka tinggal menumpang di rumah penduduk dan membangun gubuk-gubuk kecil tak layak huni. Berikut liputannya.

Para pengungsi selain kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, juga tak ada kepastian kapan dapat pulang ke kampung halamannya di Sampit. Padahal ribuan pengungsi lainnya sebelumnya sudah dikembalikan ke berbagai daerah di Kalteng.

Harapan para pengungsi itu pulang pupus setelah pemerintah pusat menganggap persoalan pengungsi kerusuhan Sampit di Madura sudah tuntas. Padahal realitasnya masih terdapat ribuan pengungsi yang tersebar di Kecamatan Robatal, Ketapang, Banyuates, Kedundung, Sokobanah, Tambelangan dan Karang Penang.

Keinginan pengungsi itu pulang kampung tampaknya bakal sia-sia. Jangankan uang ongkos pulang, untuk menyambung hidup sehari-harinya mereka mengandalkan belas kasih orang lain dan hutang sana-sini. Sebagian pengungsi yang masih muda menjadi buruh tani, kuli bangunan, tukang becak dengan penghasilan minim.

Seperti diungkapkan Sahrur,40, pengungsi asal Kecamatan Anjir, Kabupaten Kapuas, Kalteng. Ayah tiga anak ini menumpang di rumah Pak Torima, warga Desa Gunung Kesan, Kecamatan Robatal. Di rumah berukuran 6 x 9 meter dengan dinding gedek tanpa plafon itu Sahrur tinggal bersama istri dan tiga anak perempuan menempati kamar berukuran 3 x 4 meter.

Kamar itu disekat lagi untuk tempat tidur tanpa kasur dan dapur. Jika musim hujan, air masuk dari celah-celah genteng membasahi tempat tidur dan perabot rumah tangganya. "Sebagai orang yang menumpang, kami harus mengerti dan lebih banyak mengalah," kata Sahrur, yang kini jadi kuli pembuatan genteng dengan upah Rp 15.000/hari.

Diungkapkan, upah itu tidak mesti didapat setiap hari. Karena tenaganya hanya dibutuhkan manakala ada garapan membuat genteng, sehingga ia lebih banyak menganggur dan berdiam diri di tempat penampungan.

Bagi Sahrur, kehidupan di tempat pengungsian berbalik 180 derajat dibanding ketika masih tinggal di Kalteng yang hidupnya serba kecukupan dengan fasilitas memadai. Di tempat asalnya, Sahrur memiliki kebun dan sawah yang cukup luas.

Saat ini Sahrur tidak tahu apakah harta bendanya itu masih ada atau sudah diambil orang lain. "Kami sekeluarga sekarang tengah berjuang untuk mendapatkan dana pemulangan. Kami rindu kampung halaman dan ingin memulai hidup lagi dari nol. Kalau terus-menerus tinggal di sini, kami kehilangan gairah," ungkapnya.

Keinginan kembali ke Kalteng juga dikemukakan keluarga Bu Mahwi,35, pengungsi yang tinggal di Desa Karang Penang Ojur, Kecamatan Karang Penang, Sampang. Ibu tiga anak yang menjadi penyabit rumput itu mengaku tidak tahan lagi tinggal di rumah gedek yang menempel di emperan rumah warga.

Walau tidak tahu kapan kembali, demi cintanya pada kampung halamannya, selama di tempat pengungsian bahasa sehari-harinya Bu Nahwi lebih sering menggunakan bahasa daerah Sampit. Apalagi sejak suaminya meninggal dua tahun lalu, harus membanting tulang menghidupi ketiga anaknya."

Di kampung halamannya Bu Nahwi memiliki sawah yang sanggup menghidupi keluarganya. "Selama hidup saya tidak punya keinginan jadi pengungsi. Saya tidak tahan lagi hidup di pengungsian," ungkapnya.

Keluhan serupa diungkapkan Mastur, 50 tahun, pengungsi asal Kelampan Besar, Kabupaten Sampit, yang kini tinggal di Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Sampang. Mastur sebelumnya pedagang cukup sukses di kampung halamannya, kini hidup menderita di tempat pengungsian. "Seandainya tidak terjadi konflik di Kalteng, mungkin hidup saya tidak tersiksa seperti sekarang ini," ujarnya.

Jasmali, 47 tahun, ayah empat anak asal Isparman Barat, Sampit, yang tinggal di rumah penampungan berukuran 4 x 2 meter di Kelurahan Rongtengah, Sampang berharap pemerintah memikirkan nasib para pengungsi yang kini masih terlunta-lunta. Para pengungsi itu merupakan korban konflik antaretnis yang menelan ribuan korban jiwa.

Anggota DPRD Sampang Abdul Kowi, mengakui kondisi pengungsi sangat mengenaskan. Bahkan, banyak pengungsi yang meninggal lantaran tidak punya biaya untuk berobat ke puskesmas atau rumah sakit. "Hampir setiap hari saya didatangi pengungsi yang menanyakan kapan pencairan dana pemulangan pengungsi," ungkapnya.

Warga Butuh Kepastian

Meski pemerintah sudah tidak mengucurkan lagi dana pemulangan pengungsi, namun para pengungsi kerusuhan Sampit masih terus berjuang untuk mendapatkan dana pemulangan. "Saya tidak akan pulang sebelum mereka yang saya perjuangkan mendapatkan dana pemulangan. Saya kasihan melihat mereka menderita di tempat pengungsian," kata Fardiyanto,36, salah seorang koordinator pengungsi asal Jl Makam, Kabupaten Kapuas, Kalteng.

Fardiyanto mengaku dirinya sudah mendapat dana Rp 5 juta untuk pemulangan pengungsi. Namun rencana pulang ditunda karena sekitar 200 KK atau 1.500 jiwa pengungsi di Kecamatan Karang Penang dan Robatal yang menjadi tanggungannya belum mendapat dana pemulangan.

Perjuangan untuk mendapatkan dana pemulangan sudah dilakukan sejak pertengahan 2005 lalu. Saat itu pemerintah pusat mengucurkan dana sekitar Rp 215 miliar untuk 86.000 jiwa yang disalurkan lewat Forum Komunikasi Korban Kerusuhan Kalteng (FK4) Sampang.

Menurut Fardiyanto, nama-nama pengungsi yang disetor kepada aparat desa, kepolisian dan pengurus FK4 hanya dimasukkan dalam daftar cadangan serta diminta menunggu dengan alasan tidak ada dana.

Perjuangan untuk mendapatkan dana pemulangan juga dilakukan ke Kantor Kesejahteraan Sosial (Kesos) Pemkab Sampang, hanya saja tuntutannya tidak dipenuhi. Belakangan diketahui dana bantuan untuk pengungsi dijadikan bancakan oknum yang tidak bertanggung jawab.

Fardiyanto mengaku diteror menyusul langkahnya membeberkan penyimpangan dana pengungsi ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. "Pengungsi hanya butuh kepastian, kapan dana pemulangan yang menjadi haknya diberikan. Nasib pengungsi sudah menderita, jangan dibuat lebih menderita lagi. Orang-orang yang menzalimi pengungsi pasti mendapat ganjaran setimpal," tandasnya.

Menyusul penyimpangan dana pengungsi itu Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim telah menahan Asisten II Sampang, Drs Mohammad Ruslan MM, dan Bendahara Kantor Kesejahteraan Sosial (Kesos) Sampang, Edi Catur, dan tiga pengurus LSM FK4, yakni Drs Abdul Wahid (ketua), Shohibul Hidayah (sekretaris), dan Sanirun (bendahara). Tersangka pengemplang dana pengungsi itu telah dijebloskan ke Rutan Medaeng.

Tidak Ada Dana Pemulangan

Keinginan ribuan pengungsi korban kerusuhan kembali ke Sampit tampaknya bakal sulit terwujud. Berdasarkan SK Menteri Sosial tanggal 15 Desember 2005 status pengungsi sudah dinyatakan berakhir.

Artinya, jika masih ada pengungsi yang tersisa, pemerintah tidak menyediakan dana tambahan pemulangan. Penyelesaian pengungsi diserahkan ke pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi untuk memberdayakan pengungsi.

Kepala Kantor Kesejahteraan Sosial (Kakan Kesos) Pemkab Sampang, Drs H Sumarno MM, menjelaskan, pemerintah tidak punya agenda untuk memulangkan pengungsi yang masih tersisa di Sampang ke Kalteng.

Apalagi pemerintah pusat sudah menghentikan dana pemulangan. Namun, Pemkab Sampang sudah mengusulkan supaya pengungsi mendapatkan biaya pemulangan, hanya saja usulan itu ditolak dewan dengan alasan sudah ada SK Menteri Sosial.

Disinggung data pengungsi di Sampang yang masih tersisa sekitar 5.219 KK atau 23.750 jiwa, Sumarno tidak dapat memastikan kebenarannya. Masalahnya, di antara pengungsi yang sudah mendapat bantuan dana pemulangan, ada yang tidak pulang. Mereka memilih tinggal di Sampang dan
Bangkalan.

Menurut data yang dimiliki FK4, seluruh pengungsi sudah mendapat dana bantuan dan pulang ke Kalteng, tapi ada yang melaporkan masih ada ribuan pengungsi yang tersisa. "Tidak semua pengungsi melapor telah pulang ke kampung halamannya. Tapi yang jelas, barak-barak pengungsian yang sebelumnya penuh sesak sekarang sudah kosong ditinggal penghuninya," ungkapnya.

Sumarno yang dilantik sebagai Kakan Kesos Sampang, Mei 2006 lalu menyatakan, data sisa pengungsi yang belum mendapat bantuan pemulangan perlu dicroscek ulang. Karena datanya dapat berkurang atau bertambah. Tidak tertutup kemungkinan pengungsi yang sudah mendapat dana pemulangan mendaftar lagi sebagai pengungsi yang belum mendapat bantuan.

Dijelaskan, sebagian pengungsi yang tidak kembali ke Kalteng karena sudah mendapat pekerjaan tetap dan penghasilan cukup serta menikah dengan warga setempat. "Soal pengungsi yang mati telantar kami belum menerima laporan. Kalau mati sakit mungkin ada," jelasnya. (st30/Muchsin)

Sumber: Surya, 26/05/2007