Saturday, June 23, 2007

Fenomena Tampilnya Kepala Desa Perempuan di Pamekasan

Kesetaraan Gender atau Rekayasa Status Quo?
Tahun 2007 ini bisa dikatakan sebagai tahun bangkitnya perempuan Pamekasan dalam peran publik. Dari 97 desa yang menggelar pemilihan kepala desa (Pilkades), lebih dari 10% dimenangkan calon Kades perempuan. Ada yang menilai fenomena ini sebagai wujud membaiknya pandangan masyarakat terhadap kesetaraan gender. Tapi tak sedikit yang pesimistis, kondisi ini merupakan petaka. Karena tampilnya Kades perempuan lebih banyak disebabkan oleh faktor rekayasa bertahannya kekuatan status quo mantan Kepala Desa sebelumnya.

Oleh: Masdawi Dahlan

Hingga akhir tahun 2007 nanti, Pemkab Pamekasan menargetkan menyelesaikan 97 Pilkades. Sejak digelar mulai awal Maret lalu, sampai saat ini sudah 84 desa yang selesai melaksanakan Pilkades. Semua Kades terpilih sudah dilantik oleh Bupati Pamekasan, Drs Achmad Syafii. Dari jumlah itu 9 orang dimenangkan oleh calon kepala desa perempuan. Sebelum Pilkades tahun ini, Pamekasan hanya punya satu kepala desa perempuan, yakni Kepla Desa Taraban, Kecamatan Larangan, Lilik Halistirah. Dari 13 desa yang belum menggelar Pilkades, tiga desa di antaranya masih memiliki calon kepala dari kalangan perempuan.

Banyaknya calon kepala desa perempuan yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk meminpin desa, ternyata bukan fenomena yang berdiri sendiri. Para calon kepala desa perempuan itu ternyata mayoritas adalah keluarga dekat mantan kepala desa sebelumnya yang sudah tidak bisa mencalonkan lagi karena tidak memenuhi ketentuan. Dari 9 kepala desa perempuan terpilih selama tahun 2007 ini ternyata 8 orang adalah isteri mantan kepala desa dan hanya satu orang putri mantan kepala desa. Bahkan tiga calon kepala desa dari 13 desa yang masih belum melaksanakan Pilkades juga istri para mantan kepala desa.

Bupati Pamekasan, Drs Achmad Syafii, dalam sambutannya saat melantik kepala desa terpilih di Pendapa Ronggosukowati beberapa waktu lalu mengatakan, banyaknya kaum perempuan yang memenangkan Pilkades bisa jadi bagian dari semakin dewasanya masyarakat Pamekasan dalam melihat makna kesetaraan gender dalam kepemimpinan desa. Namun, Syafii tidak menampik kemungkinan adanya makna atau latar belakang lain di balik banyaknya kepala desa perempuan ini. Penyebabnya, kata Syafii, karena seluruh kepala desa perempuan terpilih itu ternyata merupakan keluarga dalam dan kerabat dekat mantan kepala desa.

Persoalan berikutnya adalah, dalam kaitannya dengan efektifitas kepeminpinan desa. Benarkah tampilnya kaum perempuan memimpin desa akan menjadi bagian dari semakin baiknya atau semakin efektifnya kepemimpinan desa yang pada gilirannya mengarah pada perbaikan pembangunan desa selanjutnya? Atau bukan sebaliknya, tampilnya kalangan perempuan menjadi kepala desa tidak lebih dari rekayasa kepentingan kelompok hegemoni kekuasaan di desa, dalam hal ini mantan kepala desa yang ingin tetap mempertahankan kekuasaannya, karena telah merasa menikmati kepemimpinan desa?

Mempersoalkan ini tidak berlebihan, sebab 9 kepala desa perempuan yang telah dilantik rata-rata hanya memiliki latar belakang formal paling tinggi tingkat SMA. Hanya satu orang yang memiliki pendidikan sarjana muda yakni Kades Buddih, Kecamatan Pademawu, Titik Syamsiyah. Sebelumnya dia adalah guru SDN di wilayah Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang. Artinya kemampuan kepemimpinan kepala desa perempuan yang terpilih masih dipertanyakan. Dilihat dari berbagai persoalan desa yang terus menumpuk, dan tingkat melek politik masyarakat yang masih mengalami euforia, awamnya pendidikan masyarakat, bisa jadi Kades perempuan itu akan menghadapi berbagai persoalan yang lebih rumit. (*)

Sumber: Surabaya Post, Rabu 20/06/2007