Wednesday, June 20, 2007

Sate Lalat dari Pamekasan

Sebagai penggemar batik Madura, saya biasanya datang langsung ke Desa Telaga Biru di Tanjung Bumi, dekat Ketapang, Madura. Tetapi, kalau saya tak sempat berkunjung ke Madura, saya akan mampir ke toko batik "Fiesta" di Tunjungan Plaza. "Fiesta" menawarkan batik gagrak Pamekasan yang memang berbeda dengan Telaga Biru, tetapi khas dan bagus untuk bahan baju dan gaun.

oleh: Bondan Winarno

Kunjungan saya ke "Fiesta" yang terakhir mengungkap sesuatu yang surprising. Pemilik "Fiesta", Ibu Faiqah Esmail, ternyata adalah seorang yang juga gemar memasak dan tahu banyak tentang pusaka kuliner Madura.


Karena itu, dalam kunjungan ke Pamekasan baru-baru ini, saya langsung bertandang ke rumah Ibu Faiqah. Ternyata, di rumah yang sekaligus menjadi tempat produksi batik itu, sudah menunggu beberapa bungkus nasek punthuk.

"Makan dulu, baru nanti kita ngobrol," kata Ibu Faiqah dengan hangat. Orang Madura suka nasi yang keras gigitannya. Bukan al dente, melainkan memang sengaja dikurangi air ketika menanak. Tidak heran bila banyak yang menanak beras dicampur jagung, menjadi nasek empog. Ada juga yang dicampur dengan singkong, disebut nasek menyok. Saya keras menduga menyok berasal dari kata manioc, alias singkong dalam bahasa Latin dan Spanyol.

Nasek punthuk memakai lauk telur petis (telur rebus bumbu opor), serundeng, beberapa macam dendeng (manis, gurih, dan bersalut kelapa parut). Sambalnya pedes. Khas sambal Madura yang langsung menyengat di belakang mulut. Haduuuuh …..

Orang Pamekasan sendiri lebih umum menyebut nasek bundhu' itu sebagai nasi bungkus. Salah seorang penjual nasi populer yang populer adalah Ibu Sinah di Jalan Temenggungan. Warungnya buka sejak subuh, dan sudah habis pada sekitar pukul tujuh pagi.

Di Sumenep, ada padanan nasi bungkus yang di sana populer dengan sebutan nasek bendem atau nasek pendem. Bukan! Nasinya tidak dimasak dengan cara memendamnya di dalam tanah. Ini adalah seporsi nasi kuning dengan lauk ikan tongkol yang ditimbun di dalam nasi, sehingga ketika dibungkus terpendam di dalam nasi kuning. Nasi bendem itu juga muncul pada saat subuh dan sudah hilang dari peredaran pada sekitar pukul tujuh pagi.

Dalam tulisan minggu lalu, saya sudah menjelaskan tentang Soto Sumenep yang khas, dimakan dengan singkong. Dari Ibu Faiqah saya belajar tentang tiga gagrak soto khas Madura. Soto Pamekasan sangat mirip Soto Banjar. Isinya macam-macam: kentang rebus, perkedel kentang, tauge, daging sapi (atau ayam), soun, lontong, disiram kaldu bening dengan bumbu merica dan bawang putih. Topping-nya adalah taburan bawang goreng dan rajangan seledri, dan rempeyek atau bakwan jagung.

Soto Bangkalan juga memakai kecambah dan soun, dagingnya bisa sapi, ayam, atau jeroan, Ditaburi kentang goreng, dengan kuah kuning berbumbu kunyit, jahe, dan lain-lain. Pendeknya, penggemar soto akan menemukan surganya di Pulau Sakerah ini.


Ibu Faiqah juga memperkenalkan saya pada sebuah hidangan sederhana khas Madura yang disebut gangan gellu' ale'. Gangan berarti sayur (agak mirip dengan jangan dalam bahasa Jawa). Sedangkan gellu' ale' berarti memeluk adik. Kok romantis betul, ya? Ini adalah sayur bening dengan bayam dan labu kuning, tetapi ditambahi beras yang diulek dan dimasukkan ke dalam rebusan, sehingga kuahnya agak kental. Kentalnya kuah yang "memeluk" bayam itulah yang di-metafora-kan sebagai "memeluk adik". Sayur bening ini cocoknya dimakan dengan nasek empog (nasi campur jagung).

Tetapi, ternyata tidak banyak lagi orang Madura yang tahu bahwa sayur itu sebetulnya bernama geangan gellu' ale'. Di Pasar Kolpajung di Pamekasan, saya bertanya ke lebih dari sepuluh orang, dan tidak seorang pun mengenali sayur yang saya maksud. Akhirnya, di sebuah warung saya berhasil menemukan sayur yang dideskripsikan persis seperti gangan gellu' ale'. Namanya saja yang berbeda. Orang-orang di pasar menyebutnya kellah koncek (kellah konceh = sayur
yang memakai bumbu temu kunci). Sebagai ganti bayam juga digunakan daun katuk atau daun lembayung.

Alangkah sayangnya bila pengetahuan tentang pusaka kuliner seperti yang dimiliki Ibu Faiqah itu akhirnya hilang ditelan modernisasi.

"Ilmu" terakhir yang saya peroleh dari Ibu Faiqah dalam kunjungan singkat itu adalah kuwe menthu alias "pizza Madura". Jajanan khas ini sudah semakin hilang dari peredaran. Hanya dibuat berdasar pesanan. Kuwe menthu adalah dadar telur yang dilapis dengan ragu (cacahan daging sapi dan santan berbumbu), dilapis lagi dengan dadar telur dan ragu, begitu seterusnya. Kemudian di atasnya ditaburi rajangan seledri. Gurih banget!

Di malam hari, Jalan Niaga di pusat kota Pamekasan berubah menjadi pusat jajanan dengan munculnya puluhan tenda yang menjajakan berbagai jenis makanan. Di Sumenep, pusat jajanan serupa dapat ditemukan di Jalan Trunojoyo – juga di malam hari. Salah satu hidangan populer di kedua tempat itu adalah yang disebut sate laler (sate lalat). Tentu saja bukan sate yang dibuat dari lalat. Tetapi, saking kecilnya potongan daging pada tusukan, kelihatan seperti lalat.

Pedagang sate laler biasanya menyediakan dua jenis daging, yaitu ayam dan kambing. Anehnya, harganya sama saja, yaitu Rp 4.500 untuk setiap 25 tusuk. Dari harganya Anda dapat membayangkan betapa sedikit daging yang "terlibat". Setiap 25 tusuk diikat dengan seutas daun pisang.

Karena dagingnya hanya sedikit, membakarnya pun ala kadarnya saja. Kalau terlalu lama dibakar, semuanya akan langsung hangus menjadi arang. Tetapi, rasanya dahsyat. Itu berkat bumbu kacang dan kecap yang memang diramu secara serius. Keunggulan orang Madura dalam menyajikan sate memang teruji dalam sate laler ini.

Tempat lain untuk nongkrong di malam hari di Pamekasan adalah sebuah kompleks yang disebut "Gerai Pangan" di Jalan Trunojoyo. Di tempat ini, dengan pelataran parkir yang luas, dapat dijumpai beberapa gerai minuman dan makanan. Salah satunya, yang terbesar, menghidangkan masakan sari laut. Saya memesan kakap bakar yang enak sekali, dimakan dengan iringan minuman susu la'ang (susu dan legen) yang segar.

Di Pantai Camplong, antara Pamekasan dan Sampang, secara tak sengaja saya menemukan nasi kobal yang sangat laris. Warung "Ibu Artini" ini letaknya di sebuah gang sempit sebuah perkampungan nelayan, dan hanya buka setelah saat sembahyang asar. Tetapi, ketika saya berkunjung ke sana lewat asar, ternyata nasinya belum matang. "Tadi Ibu Artini jalan-jalan ke kota, jadi terlambat masak nasi," katanya minta pengertian. Dan, betul saja, sudah banyak calon pembeli yang antre. Mereka menunggu nasi matang dengan tenang. Kedatangan saya sebagai
"orang asing" justru mengusik ketenangan mereka. Mereka sibuk bertanya mengapa saya datang jauh-jauh hanya untuk mencicipi nasi kobal di kampung mereka.

Mungkin karena tidak cukup memahami bahasa daerah, saya tidak pernah tahu sebetulnya apa arti nasi kobal itu. Tidak satu pun dari komponen lauk dan kondimen yang bernama kobal. Mungkin ada pembaca yang tahu?

Nasi kobal adalah nasi putih berlauk semur tahu yang dimasak dengan tongkol – atau dengan ikan bawal – dan diberi topping sambal parutan kelapa. Masakan sederhana, namun sungguh lezat. Harganya? Cuma tiga ribu rupiah, lengkap dengan sepotong tahu dan sepotong tongkol!

Parutan kelapa tampaknya merupakan komponen penting dalam masakan Madura. Topak orap
(ketupat dengan urap sayur), misalnya, adalah hidangan sarapan yang populer di Madura. Ibu-ibu penjaja topak orap berkeliling dengan menggendong bakul dari anyaman bambu yang berbentuk khas. Jangan heran bila melihat sambal urapnya berwarna agak kehitaman karena parutan kelapanya dikukus dengan bumbu terasi yang membuat rasanya sungguh nendang. Sayurnya dari daun singkong rebus yang dirajang, dan tauge atau kecambah.

Parutan kelapa dalam bentuk srundeng sering hadir dalam sajian Madura. Nasi krawu di Gresik dan sego duro di Malang yang di-claim sebagai sajian Madura pun memakai srundeng sebagai komponen utama.

Nasi bundhu' di Pamekasan dan nasi bendem di Sumenep pun memakai srundeng sebagai komponen penting. Srundeng juga hadir pada dendeng Madura yang sangat khas. Yang satu ini benar-benar tidak boleh dilewatkan. Dendeng Madura adalah daging manis yang dikeringkan dan "ditempeli" parutan kelapa. Mungkin ini adalah konsep dendeng ragi (daging yang dimasak kering dan pakai srundeng) yang sebenarnya. Rasanya sungguh gurih. Cocok untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Ke Madura, yuk?

Bondan Winarno, seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan masih akan terus melakukan pengembaraannya.

Sumber: Kompas, Jumat, 17 Maret 2006, 19:09 WIB