Thursday, June 21, 2007

Perajin Madura, Hanya Mengandalkan Kayu

Bagi perajin furnitur madura, dari dulu hingga kini, kayu adalah satu-satunya bahan baku. Ketika para perajin furnitur ukir lainnya, seperti di Jepara, memadukan kayu dengan berbagai bahan baku lain, seperti rotan, karet, bahkan eceng gondok, perajin di Madura tetap setia sepenuhnya kepada kayu.


Padahal, belakangan ini bahan baku kayu untuk industri furnitur di Tanah Air terus merosot jumlahnya, terutama untuk jenis kayu jati. Kalaupun ada, harganya juga sudah melambung tinggi. Ini mengakibatkan harga jual furnitur kayu ukir madura tak lagi kompetitif.


Oleh: FABIOLA PONTO dan CHRIS PUDJIASTUTI


Di sisi lain, para perajin furnitur ukir madura umumnya sudah amat terbiasa dengan kayu, dan merasa sulit untuk mengubah kepandaian seni ukir yang mereka miliki untuk pengerjaan bahan baku selain kayu.


Seperti diungkapkan H Harits, perajin furnitur ukir madura di Desa Karduluk, Sumenep, baginya mebel identik dengan kayu. Kalaupun mereka tak mampu lagi membeli bahan baku kayu jati, jenis kayu lain pun akan mereka kerjakan.


Edhi Setiawan (60) yang sejak tahun 1982 menjadi pengusaha mebel di Sumenep bercerita, sebelum tahun 1970-an furnitur ukiran madura bisa dikatakan ”jalan di tempat”. Sekitar pertengahan 1970-an orang mulai melirik furnitur antik madura yang amat khas, berbeda dengan furnitur antik yang biasa ditemui di berbagai tempat di Pulau Jawa.


”Ukiran madura kuno atau antik itu motifnya bisa lebih rumit daripada ukiran di Pulau Jawa. Ukiran madura juga warnanya lebih cerah, pengaruh dari China sangat kuat di sini. Berbeda dengan ukiran di Pulau Jawa yang justru menonjolkan tekstur kayu jatinya,” tutur Edhi, peraih penghargaan Upakarti 1993 untuk jasanya dalam mengembangkan industri kecil dan kerajinan.


Mungkin karena motif ukir yang relatif rumit itulah perajin maupun peminat furnitur ukiran madura amat terbatas jumlahnya. Ketika itu, sebagian perajin lebih banyak memperbaiki furnitur antik yang sudah rusak di sana-sini daripada membuat furnitur ukir yang baru.


Antik dan reproduksi
Mulai sekitar tahun 1976 barulah banyak orang berminat pada furnitur ukir madura. Mereka yang gemar barang antik lebih memilih membeli furnitur ukir madura yang sudah tua dan bisa ditemukan di berbagai tempat di Pulau Madura. Sedangkan mereka yang menyukai barang baru memilih memesan pada perajin ukir di berbagai tempat, seperti di Desa Karduluk, Sumenep.


”Sesuai dengan tuntutan pasar waktu itu, yang tak lagi menyukai motif ukiran terlalu rumit, produk mebel madura yang dibuat para perajin pun relatif sederhana motif ukirnya. Mulai pertengahan 1970-an sampai sekitar awal 1990-an bisa dibilang pesanan untuk mebel madura tak pernah berhenti. Meskipun kadang pesanan banyak, tetapi sering juga cuma sedikit, tetapi tidak berhenti. Pesanan relatif jalan terus, ada saja permintaan,” kata Edhi menambahkan.


Sampai sekitar tahun 1990-an perajin madura relatif tak mempunyai masalah dengan bahan baku. Oleh karena itulah, seberapa banyak pun pesanan bisa dilayani. Ketika itu kayu jati dari Bojonegoro, kayu sawo kecik, maupun kayu jati dari Pulau Kangean masih mencukupi.


Ketika itu industri furnitur ukiran madura tengah mekar. Furnitur antik punya peminat tersendiri, sementara reproduksi dari furnitur antik maupun yang menggunakan motif ukir baru pun memiliki pasaran yang bisa dikatakan terus berkesinambungan. Kondisi ini membuat perajin madura seakan tak punya waktu luang karena permintaan relatif tak pernah sepi.


”Saya lupa berapa harganya, tetapi dulu kami masih bisa mengantongi untung lumayan. Perajin dapat upah memadai, harga kayu dan bahan baku lain terjangkau sehingga harga jual pun bisa menarik banyak konsumen,” kata Harits sambil menambahkan, hingga kini pun sebenarnya konsumen lebih suka furnitur berbahan kayu jati.


Alternatif kayu nonjati


Selain kayu jati, perajin ukir madura sebenarnya juga terbiasa menggunakan kayu dari pohon sawo kecik. Masalahnya, kayu dari pohon sawo kecik pun kini sudah tak mudah lagi didapatkan. Untuk mendapatkan kayu yang bisa diukir dari sawo kecik dibutuhkan waktu tumbuh pohon itu sampai puluhan tahun.


Belum lagi pohon sawo kecik bisa menghasilkan kayu berkualitas untuk diukir, kayu hasil tebangan sebelumnya sudah habis dikerjakan perajin. Selain waktu tumbuh pohon sawo kecik yang lama, sebagian kayu sawo kecik dari Madura pun lebih banyak dikirim ke Bali daripada dikerjakan oleh perajin ukir di Madura.


”Sudah sekitar 10 tahun belakangan ini orang tak lagi banyak memakai kayu dari pohon sawo kecik sebagai bahan baku mebel,” kata Edhi menambahkan.


Namun, mahalnya harga kayu jati membuat perajin maupun konsumen furnitur melirik bahan kayu lainnya, seperti kayu dari pohon akasia, nangka, dan mahoni. Meski bagi perajin, menurut Harits, jenis-jenis kayu nonjati tersebut dirasakan lebih susah untuk diukir.


”Tahun 1990-an saya masih bisa jadi perajin sekaligus berdagang kayu jati. Tetapi, sejak tahun 2001 enggak ada lagi kayu jati yang bisa diperdagangkan,” ujar Harits.
Dia lalu memberi contoh kenaikan harga bahan baku kayu yang ”memukul” industri kecil furnitur ukiran madura. Menurut Harits, tahun 1990-an kayu jati kualitas A berkisar Rp 350.000-Rp 1.000.000 per meter kubik. Tetapi sekarang harga kayu serupa itu meroket menjadi Rp 1.750.000- Rp 4.000.000 per meter kubik.


Sementara harga kayu nonjati seperti kayu nangka antara Rp 400.000-Rp 500.000 per meter kubik, tergantung besar diameter kayunya. Adapun kayu mahoni sekitar Rp 750.000 per meter kubik dan kayu kormis Rp 500.000-an.


Sementara bahan baku untuk pewarnaan furnitur ukir madura, seperti thinner, yang semula Rp 7.500 per liter kini menjadi Rp 17.500 atau naik lebih dari 100 persen.
”Susah saya mau omong berapa harga mebel ini mau dijual. Makanya, orang juga takut pesan. Sekarang ini permintaan mebel ke sini cuma tinggal separuhnya dibanding awal tahun 1990-an,” ucap Harits.


Tahun 1990-an dia bisa menjual setidaknya empat sampai lima set kursi untuk ruang tamu atau perabotan kamar tidur. Kini dalam sebulan belum tentu ada barang yang terjual.


”Saya sekarang bikin sarang burung dan kandang ayam saja. Barang ini yang masih lumayan peminatnya,” ujar Harits pasrah. Dia memasang harga berkisar Rp 1.250.000-Rp 1.500.000 untuk sebuah kurungan ayam.
Sementara untuk perabotan kamar tidur (ranjang, meja rias, lemari dua pintu) harganya sekitar Rp 13 juta-Rp 15 juta dan satu set meja-kursi tamu berkisar Rp 5 juta-Rp 6 juta.


Kini sebagian perajin furnitur ukiran madura memang masih bisa bertahan, antara lain, dengan mengandalkan bahan baku kayu nonjati. Akan tetapi, tanpa adanya inovasi baru seperti memadukan kayu ukir dengan bahan baku lainnya, tak mustahil industri para perajin ini akan kembali ”jalan di tempat”.


Sumber: Kompas, Jumat, 07 April 2006