Monday, June 25, 2007

Keliling Dunia Bawa Batik

Pasar internasional akan mengajarkan banyak hal. Bicara kualitas batik, konsumen kerap memerhatikan jenis kain yang diperkirakan pantas dikenakan, termasuk kekhasan motifnya. Ada saja konsumen yang tetap mengidamkan keklasikan, tetapi ada juga konsumen yang justru menginginkan warna-warna trendi.

Kualitas tetaplah membutuhkan sistem pemasaran bahasa tutur yang baik. Pelajaran penting itulah yang diperoleh Sri Nurbayani (30), perajin batik Madura. Bagi Sri, kualitas boleh saja dikenal dan dihargai, bahkan dibangga-banggakan oleh para konsumen.

Lihat saja, orang-orang pada umumnya mengenal batik cuma berasal dari Pekalongan atau Solo. Padahal, batik Madura juga sudah bisa dipasarkan di dunia internasional. "Bagi saya sih, kualitas percuma saja bagus, kalau kita tidak bisa memasarkan dengan baik. Kalau saya bukan hanya mempertahankan kualitas, tetapi juga mengutamakan cara memasarkan. Modalnya, paling enggak bahasa Inggris deh," kata Sri pada akhir acara "Indonesian Festival" yang diselenggarakan di Teheran, Iran, akhir Juli lalu. Sri adalah salah satu peserta yang ikut ambil bagian membuka stan khusus kain batik Madura. Perempuan kelahiran Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura, 1 Januari 1976, ini mengakui, bahasa Inggris menjadi modal pendukungnya untuk bisa terjun di kancah internasional.

Mengapa? Sepintas batik Solo atau Pekalongan memang patut diakui kualitasnya. Jarang sekali orang memalingkan mata untuk memerhatikan batik Madura. Menurut Sri, kendala yang kerap dihadapi perajin dalam memasarkan produknya adalah bahasa. Misalnya saja, kain batik.

Konsumen asing yang sangat awam dengan kerajinan batik tentunya sulit memahami kekhasan batik. Mereka biasanya mempertanyakan perbedaan dan tingkat kesulitan antara pembuatan batik tulis dan batik cap. Akibat sulitnya memahami, konsumen pun seenaknya menawar dengan harga yang tidak masuk akal. Murah, bahkan terlalu murah ditawarnya, sehingga membuat perajin kecewa karena hasil produksinya seakan tidak punya harga sama sekali. Untuk batik yang asal-asalan diproduksi, mungkin saja penawaran harga yang dilakukan konsumen bisa diterima oleh perajin.

Motif dan Pewarnaan

Akan tetapi, bagaimana dengan selembar kain batik yang harus diproses sekitar satu tahun untuk memperoleh motif dan pewarnaan yang khas dan berkualitas? Apa jadinya, kalau perajin batik mendengar rendahnya penawaran harga yang diajukan konsumen? Karena itulah, menurut Sri, penjelasan yang akurat sangat diperlukan bagi konsumen.
Singkat dan padat, tetapi juga harus mudah dan cepat dipahami. Konsumen asing akan lebih respek dan menaruh minat jika perajin mampu menjelaskan dengan menggunakan bahasa Inggris. "Syukur-syukur sih kita bisa menjelaskan dengan bahasa masyarakat setempat. Seperti di Iran, kita mestinya pakai bahasa Persia," ujar Sri.

Perlahan-lahan Sri memaparkan proses pembuatan batik kepada para konsumen di Iran. Mulai dari pemilihan kain, penggunaan canting sebagai alat khusus untuk melukis motif-motif batik, serta cairan lilin khusus batik yang biasa disebut malan.
"Lihat ini. Inilah proses membatik pertama, kedua, dan ketiga," ujar Sri sambil menunjukkan satu per satu kain yang sudah dilukis cairan malam. Lama proses pembuatan batik pun dijelaskan oleh Sri. Mulai dari mempersiapkan zat warna, pencelupan kain, penjemuran, hingga akhirnya dihasilkan kain batik nan anggun. Kemudian, Sri mengambil salah satu kain batik.

Seusai mendengarkan penjelasannya, konsumen pun tersenyum dan segera menanyakan harga jualnya. Ternyata, secarik kain yang diminati seorang konsumen seharga Rp 300.000. Lagi-lagi, Sri harus memberitahukan ekuivalen harga jual dalam rupiah itu ke dalam mata uang Iran. Kalau dihitung-hitung, harga secarik kain batik itu setara dengan 300.000 rial. "Kalau kebetulan ada yang menanyakan harganya dalam dollar, ya saya harus menyebutkan ekuivalennya," ujar Sri, lulusan sarjana pariwisata di sekolah tinggi pariwisata swasta di Jakarta.

Tanah Abang

Tanpa dinyana, Sri kaget bukan kepalang. Salah satu kain batik Madura yang ditawarkan seharga 300.000 rial Iran justru ditawar oleh konsumen senilai 10 persennya alias seharga 30.000 rial Iran atau Rp 30.000 doang. Sri pun tersenyum kecut. Sudah diterangkan cara membuat batik yang begitu rumit saja, konsumen masih menawar rendah sekali. "Yang bikin saya kaget, salah satu orang Iran bilang harganya kok mahal sekali, enggak seperti di Pasar Tanah Abang," ujar Sri, yang terkejut karena Tanah Abang begitu terkenal di Iran.

Iran bukanlah negara pertama yang dikunjungi Sri. Urusan melanglang buana tetaplah menjadi pengalaman menarik. Sri mengakui, promosi batik Madura diawalinya dengan ikut-ikutan orangtuanya berpameran di anjungan Jawa Timur, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), pada tahun 1980-an. Hasilnya cukup lumayan. Bagi Sri, pemasaran hasil kerajinan Indonesia tidak akan berkembang jika cara menawarkannya hanya menggunakan bahasa isyarat dan kalkulator. Karena itulah, bahasa Inggris harus diperkuat. "Dari situlah, saya memberanikan diri untuk belajar bahasa Inggris," kata Sri.

Di zaman Orde Baru, Sri meneruskan usaha orangtuanya. Saat di bangku kuliah, Sri lebih memperdalam kebolehannya dalam berbahasa Inggris. Sejak itulah, salah satu keluarga Cendana mengajak untuk berpameran keliling Eropa dan Amerika. Hampir setiap negara memiliki kekhasan permintaannya. Dari sanalah, batik Madura berkembang dan menarik minat konsumen. Kita tidak bisa memaksakan konsumen untuk tertarik pada batik, tetapi kita mesti memperkenalkan batik sebagai kekayaan Indonesia. (Stefanus Osa Triyatna)

Sumber: Kompas, Senin, 07 Agustus 2006

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home