Revitalisasi Bermadura
Tanpa pembangunan dan penguatan, kekusasteraan Madura perlahan-lahan akan mati. Karena itu, kekuatan sastra Madura harus dibangun dan dikembangkan. Caranya, memerdayakan remaja dan pelajar sebagai investasi budaya Madura di masa mendatang.
Sastrawan Syaf Anton Wr mengatakan hal tersebut saat Sarasehan Sastrawan Se Madura di Pendapa Budaya Jl Jokotole Pamekasan kemarin. Anton bilang, sastra sebagai instrumen dalam menciptakan masyarakat yang berbudaya. Dengan sastra, manusia dapat menghargai kehidupannya. Anton memandang ironis negara Indonesia karena amat miskin dalam menerbitkan karya yang berakar budaya. "Dari aspek berbudaya, saya ragu Indonesia kaya raya," katanya. Menurut dia, membangun kekuatan sastra tidak sekadar menyusun kata-kata yang beroma sastra. Persoalan di luar sastra justru lebih dominan dalam membangun kekuatan sastra yang lebih besar.
Penyair asal Sumenep itu menawarkan beberapa hal untuk merevitalisasi gerakan sastra di Madura. Pertama, membina dan mengembangkan sastra dan satrawan Madura. Kedua, menggairahkan komunitas sastrawan. Dan ketiga, menempatkan sastra sebagai objek.
Menurut dia, tiga aspek yang mestinya dikembangkan itu justru kini melepuh. Akibatnya, gairah bersastra dan bermadura kian redup ditimpa persoalan. Dia mencontohkan, runtuhnya kemaduraan karena digerus sebagian warga Madura sendiri. Sebab lainnya, sastra Madura terkepung budaya-sastra daerah lain yang nyaris tak tersaring. "Hanya sedikit orang yang saat ini peduli untuk bersastra dan bermadura," terangnya.
Sementara budayawan D. Zawawi Imron tampil berbeda dibanding Anton. Penyair yang berjuluk Si Clurit Emas ini melihat fenomena bersastra dan bermadura masih muncul di mana-mana. Dia mencontohkan, di pelosok masih didengar syair-syair yang beraroma Madura. Sastra tutur yang mendengung di pelosok itu dinilai sebagai eksistensi bersastra dan bermadura. "Hanya, akhir-akhir ini bersastra Madura dilakukan orang-orang tua," katanya.
Zawawi mengaku bersyukur ada Balai Bahasa Surabaya yang peduli bahasa daerah di Jawa Timur, khususnya Madura. Dia bilang, momentum pertemuan antarsastrawan se Madura di Pamekasan sebagai peristiwa yang tepat. Setidak-tidaknya, kata dia, untuk mengembalikan gairah bergeografis Madura yang mulai luntur pada sebagian orang Madura. Menurut dia, bersastra dan bermadura yang hanya berpangku pada seniman-sastrawan, terlalu berat. Tapi harus digerakkaan semua elemen masyarakat.
Guru tamu di SMAN 3 Pamekasan mengaku salut pada remaja yang masih punya nyali untuk bermadura. Dalam amatan Zawawi, penyair muda Madura cukup kuat untuk membangun kata-kata. Tapi, katanya, seindah apa pun kata yang dibangun penyair untuk menumbuhkan rasa bermadura, terlalu lemah dalam melawan globalisasi.
Karenanya, Zawawi minta semua pihak memiliki komitmen yang sama dalam membangun Madura seutuhnya. Baik dalam sastra maupun bermadura dalam konteks yang lain. "Saya ingin remaja masa depan mumpuni dalam tembang kasmarannya Madura," ujarnya lalu tersenyum.
Selain orasi dan baca puisi, sastrawan se Madura sepakat merevitalisasi Madura seutuhnya. Gagasan revitalisasi ini setelah kegelisahan kolektif muncul di Pendapa Budaya. Gerakan revitalisasi ini diinginkan lahir dalam berbagai aspek. Baik dalam kebudayaan, kesenian, kebahasaan, dan tata komunikasi di dalam maupun luar Madura.
Hadir dalam temu sastrawan se Madura ini, antara lain Alwi MHum (asisten III Sekkab), Chairil Basyar, Bob Candra Mustafa, Tauhet Supratman, BH Riyanto, dan Timur Budi Radja (Bangkalan). Selain itu, Juwairiyah Mawardi, Taqdirul Amien, Khalifaturrahman, Yayan KS, tim balai bahasa Surabaya, dan puluhan sastrawan se Madura. (abe)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 08 Agt 2007
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home