Mantan Bupati Dwiatmo Bebas
Pengadilan Negeri Nilai Tak Terbukti Korupsi CLM
Tiga kali masuk pengadilan, tiga kali pula kasus dugaan korupsi pembelian Pertokoan Citra Logam Mulia (CLM) divonis. Kasus CLM jilid III dengan terdakwa mantan Bupati Pamekasan Dwiatmo Hadianto pun kemarin divonis bebas.
Jauh sebelumnya, pada sidang kasus CLM jilid I dengan terdakwa Djamaludin (pimpro), hakim juga memvonis bebas. Begitu juga Kasus CLM II dengan terdakwa Herman Kusnadi (Kabag Tapem) lagi-lagi diputus bebas. Keduanya divonis bebas baik di PN (Pengadilan Negeri) Pamekasan maupun MA (Mahkamah Agung).
Dalam sidang kasus CLM III di PN Pamekasan kemarin, majelis hakim yang diketuai I Nyoman DK SH dan beranggotakan Tarima S. SH serta Sudjarwanto SH pun memvonis bebas Dwiatmo. Mantan bupati periode 1998-2003 itu dinilai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan tim JPU (Jaksa Penuntut Umum).
Dengan demikian, sesuai amar putusan Nomor 149/Pid.B/2008/Pn.Pks, majelis hakim juga menyatakan Dwiatmo dibebaskan dari segala tuntutan. Majelis hakim juga mengembalikan kedudukan, harkat, dan martabat Dwiatmo seperti sediakala. Serta, membebankan biaya perkara kepada negara sebesar Rp 5.000.
Selain itu, majelis hakim memerintahkan kepada pihak terkait mengembalikan sejumlah barang bukti. Mulai dari bukti surat berupa dokumen pembelian CLM, sertifikat CLM, dan dokumen terkait lainnya. Barang bukti tersebut dikembalikan kepada yang berhak, salah satunya Pemkab Pamekasan.
Pembacaan putusan atas Dwiatmo dilakukan bergantian oleh majelis hakim. Pembacaan berkas putusan setebal 155 halaman itu memerlukan waktu sekitar tiga jam. Dimulai sekitar pukul 09.30, berakhir sekitar pukul 12.30.
Dalam penjelasannya, majelis hakim menilai dakwaan primair, subsidair, dan lebih subsidair dari tim JPU tidak terbukti di persidangan. Karena itulah, majelis hakim menolak seluruh dakwaan dari tim JPU.
Untuk diketahui, pada dakwaan primair, Dwiatmo didakwa melanggar pasal 2 (1) UU 31/1999 atau perubahannya UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal 2 (1) UU Tipikor berisi tentang dugaan korupsi dengan ancaman pidana minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun atau denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Sedangkan pada dakwaan subsidair, JPU mendakwa Dwiatmo melanggar pasal 3 (1) UU Tipikor yang berisi dugaan korupsi karena jabatan. Perbuatan tersebut dipidana paling singkat 1 tahun penjara dan maksimal seumur hidup atau 20 tahun penjara.
Selain itu, terdakwa masih terancam denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Penggunaan pasal 3 (1) UU Tipikor itu masih di jonto-kan dengan pasal 64 (1) KUHP tentang perbuatan pidana yang dilakukan secara berturut-turut.
Selanjutnya, Dwiatmo juga didakwa lebih subsidair. Yakni, melanggar pasal 5 (2) UU Tipikor tentang penyelenggara negara yang menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk memengaruhi atau tidak memengaruhi. Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling singkat 1 tahun dan maksimal 5 tahun atau denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp250 juta.
Menurut majelis hakim, unsur melakukan tindak pidana korupsi tidak terpenuhi. Misalnya, unsur melawan hukum. Dijelaskan, Dwiatmo sebagai bupati telah melaksanakan tugas dan kewenangannya. Seperti, menunjuk pimpro (pimpinan proyek).
"Sebagaimana ketentuan pasal 47 UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Keppres 55/1993 dan Peraturan Menteri Agraria No 1/1994, terdakwa menunjuk pimpro," terang Tarima, salah seorang majelis hakim.
Soal adanya dugaan tidak adanya sertifikat pada saat pembayaran tahap pertama, menurut majelis hakim juga tidak masalah. Sebab, sesuai keterangan saksi, sertifikat diserahkan pada saat pelepasan hak. "Dan, penyerahan sertifikat telah dilakukan sebelum pelepasan hak," paparnya.
Majelis hakim menilai tidak perlu membuktikan unsur lainnya, seperti unsur merugikan keuangan negara maupun menguntungkan diri sendiri atau pihak lain. Tarima beralasan, jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka tidak bisa disebut sebagai tindak pidana korupsi.
Selama pembacaan putusan, Dwiatmo terlihat tenang. Sesekali dia terlihat manggut-manggut dan melihat kuasa hukumnya, A. Cholily SH dan M. Koeslan Hanafiah SH. Setelah pembacaan putusan selesai, Dwiatmo terlihat menghela nafas panjang.
Atas putusan tersebut, Dwiatmo langsung menerima. Sebaliknya, tim JPU memilih pikir-pikir. Selama rentang waktu 15 hari ke depan, tim JPU berkesempatan mengajukan keberatan dengan melakukan kasasi kepada MA (Mahkamah Agung).
Kasus CLM jilid III ini didasarkan laporan FPK (Fron Pemberantas Korupsi) Pamekasan. Laporan FPK ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan berlanjut penyidikan. Setelah melalui tahapan panjang, tim penyidik menetapkan Dwiatmo tersangka.
Kasus CLM sendiri berawal dari penilaian publik yang menilai pembelian CLM pada 2002 seharga Rp 7,5 miliar tidak wajar. Akhirnya, kejaksaan saat itu selaku penegak hukum melakukan penyelidikan. Dan, dari penyelidikan diketahui ada dugaan kerugian negara sebesar Rp 1,9 miliar sesuai temuan BPKP (Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan). (zid/mat)
Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 26 September 2008
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home